Pages

Minggu, 13 Februari 2011

Late

Title: Late

Pairing: Alvin, Sivia, Riko

Warnings: nggak nyambung, lebay, gaje, alur kadang kecepetan, ending yang nggantung, dsb

Genre: Romance/Drama

Summary: Sivia tersenyum kepada Riko. Senyum yang manis. Walaupun sebenarnya, ia masih berusaha menguatkan hatinya menerima kenyataan yang entah sampai kapan akan disesalinya.

“...Disaat kau mengungkapkan kenyataan itu, sejak saat itu yang ku tahu, aku telah kehilangan cinta pertamaku...

***

Hari Minggu yang tenang, disebuah komplek perumahan, tampak seorang laki-laki terburu-buru menuju sebuah rumah. Tanpa memberi salam sama sekali, laki-laki itu langsung memasuki rumah tersebut.

"Via...Via...Via!! Gue pinjem tugas dari Pak Gunawan. Gue belum selesai, udah keriting otak gue ngerjainnya" laki-laki itu memecah keheningan didalam rumah tersebut. Tampak di dalam rumah, seorang perempuan sedang duduk santai sambil menonton tv.

Perempuan yang dipanggil Via tersebut hanya menatap bingung laki-laki yang kini sudah berada dihadapannya. Tapi, tak menunggu lama dia segera beranjak ke kamarnya di lantai dua, menuju meja belajar yang terletak di dekat jendela dan mengambil beberapa kertas berisi tugas Matematika Diskrit yang telah selesai dia kerjakan semalam. Via kembali ke tempat laki-laki tadi, yang sudah seenaknya masuk kerumahnya tanpa meminta izin sama sekali.

Kebiasaan deh ni anak. Batin Via.

"Nih" ucap Via sambil memberikan kertas-kertas tersebut.

"thanks" cowo tersebut segera mengambil kertas yang diberikan Via dan dengan cepat mencatatnya.

"Alvin, kan gue udah bilang, kebiasaan lo seperti ini diilangin deh. Jangan pas udah mepet gini baru lo kerjain. Tugas ini kan udah seminggu yang lalu dikasih, tapi baru sekarang lo sibuk ngerjainnya." Via mengomeli laki-laki tersebut. Alvin yang diomeli hanya bisa nyengir sambil tetap menyelesaikan tugas madisnya yang besok harus dikumpulkan.

"kemaren udah gue kerjain Vi, tapi susah banget. Kan gue udah bilang, otak gue udah keriting ngerjainnya. Udah lebih dari setengah soalnya kok yang gue kerjain"

"Huh, alasan!! Kemaren kan gue juga udah ngajakin lo kerja bareng. Tapi lo nya aja yang nolak terus. Bilang aja, lo kemaren jalan ama cewek-cewek lo itu, ya kan?!"

"wess...'cewek-cewek'. Kesannya gue leboy amat yak"

"lah emang iya kan. Lo kan emang leboy cap ikan asin" ledek Via.

"udah, jangan ledekin gue mulu. Sekarang bantu jelasin ke gue, ni apa maksudnya coba?? Dari mana datangnya nilai yang ini??" Alvin menanyakan soal yang kurang ia mengerti kepada Via. Via lalu menjelaskannya dengan baik.

Alvin dan Sivia atau yang biasa dipanggil Via adalah sahabat sejak kecil, sejak Sivia dan keluarganya pindah ke depan rumah keluarga Alvin saat mereka kelas 5 SD. Dulu Alvin tidak mempunyai teman yang sebaya dengannya disekitaran rumahnya. Sehingga ia tidak punya teman bermain. Tapi sejak adanya Sivia, Alvin jadi ada teman dan selalu bermain bersama Sivia.

Saat SD, kebetulan Sivia yang baru pindah itu masuk kesekolah yang sama dengan Alvin. Bahkan sekelas. Ketika SMP dan SMA, mereka kembali masuk disekolah yang sama. Kali ini bukan kebetulan, tapi mereka memang ingin tetap barengan, walaupun tidak terus-terusan sekelas.

Dan kini, saat mereka sudah duduk dibangku kuliah, mereka melanjutkan di universitas yang sama dan dijurusan yang sama pula. Entah karena berjodoh atau memang takdir yang selalu mempersatukan mereka, mereka ditempatkan dikelas yang sama.

Mereka bukan mahasiswa baru lagi. Mereka kini sudah duduk dibangku tingkat akhir. Mereka berdua sebenarnya mahasiswa cerdas. Tapi Alvin memiliki sifat yang sedikit pemalas. Apalagi dalam mengerjakan tugas-tugasnya. Untungnya, dia mempunyai Sivia sebagai sahabatnya yang selalu sabar membantunya ketika dia sudah kebingungan menyelesaikan tugas-tugasnya.

***

Sivia kini sedang berada di taman kampusnya. Di bawah sebuah pohon rindang, ia terlihat asyik membolak-balik bukunya sambil memakan cemilan. Sivia memang suka membaca buku di tempat seperti ini. Dari pada dia harus duduk berlama-lama di dalam perpustakaan, bisa bikin kepala mumet, begitu katanya.

"Hai Vi" sapa seorang laki-laki kepada Sivia. Yang kemudian ia duduk di sisi Sivia.

"eh, Hai" balas Sivia sambil melemparkan senyum manisnya kepada laki-laki itu.

"sendirian lo?? Mana sohib kental lo itu?? Tumben nggak bareng dia??" tanya laki-laki itu.

"Alvin?? Nggak tau. Lagi jadi leboy kali" jawab Sivia asal.

"oh, lo nggak kuliah??" tanya laki-laki itu lagi.

"ada. Tapi ntar jam setengah tiga baru ada kelas lagi. Yah, dari pada nggak ada kerjaan, mending disini kan?! Bisa ngadem" jawab Sivia. "lo sendiri nggak kuliah??" Sivia melontarkan pertanyaan yang sama dengan laki-laki itu.

"Ini baru selesai kelas. Istirahat satu jam, ntar ada kuliah lagi. Oh iya, lo udah makan siang belum?? Gue lapar nih"

"belum sih. Ya udah, kantin yuk"

Laki-laki itu sumringah. Dia membantu Sivia membereskan buku-bukunya. Kemudian mereka berjalan beriringan menuju kantin.

Kantin tidak terlalu ramai. Masih cukup banyak meja kosong disana. Laki-laki itu dan Sivia memilih salah satu meja yang agak terpisah dari meja-meja lainnya.

"lo mau pesan apa Vi??" tanya laki-laki itu.

"apaan ya?? Samain aja deh dengan lo"

"oh, nasi komplit dengan es teh manis aja, gimana??" tawarnya.

"ok, nggak papa"

Laki-laki itu segera memesan kepada petugas kantin. Tak lama, ia kembali ke meja dimana Sivia duduk. Sambil menunggu pesanan mereka datang, Sivia dan laki-laki itu terlihat berbincang-bincang. Terkadang gelak tawa juga keluar dari bibir keduanya.

Saat sedang asik bercerita, tiba-tiba Sivia terdiam. Matanya terfokus pada satu titik. Laki-laki tersebut menyadarinya dan segera mengikuti arah pandangan Sivia. Dia tahu dan mengerti dengan yang dilihat oleh Sivia.

"sabar ya Vi. Gue tau lo kuat" ucap laki-laki itu. Sivia melepaskan pandangannya dari hal yang sedari tadi ia lihat dan beralih menatap laki-laki di hadapannya ini. Sivia belum mengucapkan apa-apa hingga petugas kantin datang mengantarkan pesanan mereka.

"ini mbak, mas pesanannya. Nasi komplit dan es teh manis." ucap petugas kantin.

"makasih mas" jawab laki-laki itu sambil tersenyum. Petugas kantin itu segera beranjak dari meja mereka.

Setelah petugas kantin itu pergi, laki-laki itu kembali menatap Sivia. Sebuah tatapan yang penuh simpati. Sivia yang menyadari arti dari tatapan itu, segera memberikan senyum manisnya kembali. Walaupun sedikit sulit baginya.

"iya, tenang aja Rik. Gue gak selemah itu kok" laki-laki itu -Riko- turut tersenyum.

"ya udah, makan tuh. Tadi katanya lapar" Sivia segera memakan makanannya. Begitupun dengan Riko.

Riko adalah teman Sivia sejak SMA. Kebetulan, mereka melanjutkan kuliah di universitas yang sama, tetapi beda fakultas. Walaupun begitu, mereka tetap sering bertemu. Malahan, sejak mereka kuliah, mereka jauh lebih dekat dari pada saat SMA dulu. Sehingga tak jarang banyak yang mengira mereka pacaran.

Andai lo tahu, Vi...andai lo tahu...batin seseorang.

***

"ecieee....yang tadi habis jalan dengan Agni. Nggak bilang-bilang lagi kalau mau jalan. Whuuaaa...pasti ada apa-apanya ini kan..." goda Sivia.

Alvin yang menjadi korban dari keusilan Sivia hanya menekuk wajahnya. Dia paling sebel kalau Sivia sudah menggodanya seperti ini. Sivia yang melihat wajah Alvin yang sudah seperti baju belum disetrika itu tertawa lebar. Alvin terlihat sangat lucu kalau seperti itu.

"grrr...udah deh Vi. Jangan mulai ya..." ucap Alvin.

"haha...iya deh, iya. Habisnya, lo jalan ama cewek tumben-tumbenan nggak cerita ama gue. Tapi karena gue ini orang baik, ada aja jalan yang Tuhan tunjukin buat gue. Jadinya tadi gue lihat lo sama Agni berdua di mall. Mana mesra lagi" lagi-lagi Sivia menggoda Alvin. Dia menyenggol bahu Alvin yang saat ini berada tepat di sampingnya dengan bahunya sendiri.

Alvin kembali menekuk mukanya. Kali ini ditambah dengan bibir yang dimajukan. Tawa Sivia kembali pecah. Alvin yang melihat hal itu hanya bisa diam. Menyebalkan sekali Sivia ini. Katanya tidak akan menggodanya lagi, tetapi masih saja dia seperti itu. Apa yang harus aku lakukan untuk membalasnya Tuhan?? Batin Alvin memelas.

Alvin menyunggingkan senyum manisnya. Di tatapnya Sivia yang masih tertawa dengan tatapan yang dalam. Awalnya Sivia tak menyadari akan tatapan Alvin itu. Tapi karena tangan Alvin yang mendadak menggenggam tangannya, Sivia langsung menghentikan tawanya.

Sivia balas menatap Alvin. Bagi hampir semua gadis, tatapan Alvin seperti itu adalah sihir yang mampu membuat mereka terhanyut dan melupakan sekitar mereka. Bagi Sivia...??

Pletaakk!!!

"aww...lo kok kasar amat sih Vi??"

Ternyata kepala Alvin telah menjadi korban. Tangan Sivia yang bebas dari genggaman tangan Alvin telah sukses mendarat di kepala Alvin. Sivia tersenyum penuh kemenangan.

"haha..makanya, jangan macam-macam lo ama gue. Sory ya, tatapan lo seperti itu nggak akan mempan ama gue. Kasih aja tuh tatapan lo ama cewek-cewek lo itu."

Alvin kembali menatap sebal Sivia. Susah sekali mempengaruhi sahabatnya yang satu ini. Bukannya dapat membalas, malah dia yang terus-terusan menjadi korban.

Ya, selalu begini. Kapan akan berubah??

***

Kembali Sivia duduk di taman kampus. Masih ditemani oleh Riko. Sedari tadi hanya keheningan yang menemani mereka. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Vi, gue boleh nanya nggak??" Riko memecah di antara mereka.

"lha, itu kan udah nanya" jawab Sivia sambil tersenyum. Mau tak mau Riko juga ikut tersenyum.

"iya ya?? Ok, kali ini gue serius. Gue beneran mau nanya ama lo"

"ya udah, tanya aja. Mau nanya aja kok pakai ijin"

"kapan lo bakal buka hati lo??"

Sivia mengerutkan keningnya tanda tak mengerti dengan pertanyaan Riko tersebut. Riko yang mengerti, kembali menjelaskan pertanyaannya.

"kapan lo bakal buka hati lo dan lupain cinta pertama lo itu??"

Sivia bisa menangkap maksud pertanyaan Riko. Ya, Riko mengetahui tentang perasaan Sivia. Riko mengetahui akan cinta pertama Sivia yang sampai saat ini masih terukir jelas di hati Sivia.

Hanya Riko yang mengetahui akan hal tersebut. Bahkan Alvin yang telah menjadi sahabatnya sejak lama tak mengetahui perasaan Sivia. Yang Alvin ketahui, Sivia mempunyai cinta pertama yang masih sangat di cintainya sampai sekarang. Tapi Alvin tak pernah tahu, siapa laki-laki yang telah memenangkan hati Sivia.

"Vi, siapa sih yang lo suka?? Pelit amat lo cerita ama gue. Gue kan pengen tau, Vi..." ucap Alvin memelas.

"ogah!! Ntar lo godain gue lagi. Cukup lo tau, kalau gue punya pangeran hati gue sendiri."

"oh, gue tahu. Pasti yang lo suka Riko kan?? Jadi gosip yang bilang lo pacaran ama dia itu bener kan??" tebak Alvin sedikit sewot.

Pletak!! Sivia menoyor kepala Alvin.

"sembarangan lo ngomong. Bukanlah..."

"sakit Vi...trus siapa donk?? Lo kan dekat banget tuh ama dia, nggak mungkin lo nggak ada apa-apanya dengan dia"

"grrr...terserah lo deh." Sivia merengut. Sedikit sebal dengan sahabatnya yang satu ini.

"Vi...cerita donk..."

Sivia menatap Alvin. Apa yang harus dia lakukan agar sahabatnya ini bisa berhenti mengoceh?? Berhenti menanyakan hal yang itu-itu saja?? Berhenti menyudutkan dia dengan mengatakan dia berpacaran dengan Riko??

"ok, gue bakal kasih tahu lo siapa yang gue suka..."

"siapa?? Siapa??" tanya Alvin memotong omongan Sivia.

"diem dulu deh Vin. Nyerobot aja kayak angkot. Gue bakal kasih tahu lo siapa cowok yang gue suka. Tapi...setelah lo bawa cewek yang bener-bener lo suka, bahkan lo cintai ke gue. Bukan cewek yang sekedar lo ajakin jalan, tapi nggak jelas hubungannya. Setelah itu, gue bakal ngasih tahu lo semuanya." janji Sivia.

"gimana Vin??" tanya Sivia lagi.

Alvin terlihat berpikir. Persyaratan ini sebenarnya tidak terlalu susah. Tapi membuat dia harus berpikir sedikit lebih keras.

"ok, lo lihat aja. Ntar gue bakal bawa cewek seperti yang lo minta itu."

Sivia tersenyum. Kapan kira-kira Alvin akan membawanya?? Pikir Sivia.

Tapi sampai saat ini pun Alvin belum juga membawa perempuan itu kepada Sivia.

Sivia tersenyum mengingat kejadian itu. Perjanjian yang menurutnya sedikit agak konyol. Entah pikiran dari mana hingga dia berpikir untuk membuat perjanjian seperti itu.

"selama gue belum merasa kehilangan cinta pertama gue, selama itu hati gue bakal tetap buat dia" ucap Sivia tiba-tiba.

Riko menatap gadis yang saat ini berada di sampingnya. Gadis itu tampak masih menyunggingkan senyuman manisnya. Tergambar jelas keseriusan dari setiap kata-katanya.

"kenapa lo senyum-senyum sendiri?? Awas gila, Vi..." canda Riko.

"enak aja lo. Gue cantik gini lo bilang gila!! Lagian, kenapa lo tanya-tanya hal itu lagi?? Masih naksir lo ama gue??" Sivia membalas candaan Riko.

"iya, gue masih suka ama lo, bahkan masih cinta. Dan gue bakal tunggu lo, sampai lo buka hati buat gue. Atau sampai lo benar-benar mendapatkan cinta pertama lo"

Siapa sangka, candaan Sivia dianggap serius oleh Riko. Sivia sedikit terpaku dengan pernyataan Riko. Tapi dia tetap berusaha bersikap normal.

Sivia tahu, Riko menyukainya. Karena dulu, sewaktu mereka masih SMA, Riko sempat menyatakan perasaannya pada Sivia. Sivia tak menerimanya, karena dia sangat mencintai cinta pertamanya. Hal ini pun tak diketahui oleh Alvin. Tapi karena kejadian itu, Riko jadi tahu perasaan Sivia yang sesungguhnya.

"haha...gombal lo?? Nggak mempan di gue..."

"ih, orang serius juga dibilang gombal. Rese' lo!!"

"ah, tampang lo nggak ada bakat buat seriusan. Tampang konyol gitu juga"

"rese' lo ya!! Bilang tampang gue nan rupawan gini konyol?!" Riko lalu menggelitik pinggang Sivia. Sivia yang tidak tahan geli segera menghindar. Tapi Riko terus saja mengerjainya, mengejar kemanapun Sivia menghindar. Gelak tawa tercipta dari bibir keduanya. Tak heran, banyak yang mengira mereka memiliki hubungan khusus. Bisa dilihatkan, bagaimana kemesraan mereka??

***

"Vi, ntar malam ada acara nggak??" tanya Alvin. Mereka saat ini sedang jalan beriringan menuju parkiran kampus. Kuliah terakhir untuk hari ini sudah selesai dari 15 menit yang lalu.

"nggak ada sih. Kenapa emang??"

"gue mau ngajakin lo nonton. Kita kan udah lama nggak jalan bareng, Vi."

"nonton?? Boleh. Jam berapa??"

"jam tujuh. Tapi lo ke rumah gue dulu. Papa nanyain lo tuh.."

"oh, papa udah pulang ya?? Ok, ntar gue kesana." ucap Sivia semangat. Alvin tersenyum melihat Sivia yang bersemangat seperti itu. Tak terasa mereka telah sampai di parkiran kampus. Mereka segera masuk ke dalam mobil Alvin, dan beranjak meninggalkan kampus mereka.

***

Malam pun tiba. Sivia kini tengah bersiap-siap di kamarnya. Dia hanya menggunakan celana jeans dan kemeja berwarna biru yang kebesaran di tubuhnya namun tampak begitu manis, lalu menambahkan bedak tipis di mukanya. Siap.

Sivia menuruni tangga, dan menemui kedua orang tuanya yang saat ini tengah menonton tv.

"pa, ma, Sivia pergi dulu ya. Mau nonton dengan Alvin"

"lho?? Alvinnya mana??" tanya Mama Sivia.

"Sivia ke rumahnya dulu Ma. Papa baru pulang, jadi pengen ketemu Sivia"

"oh, iya. Hati-hati ya Vi. Jangan terlalu malam pulangnya" pesan Papa Sivia.

"iya Pa" Sivia mencium tangan kedua orang tuanya. Lalu beranjak menuju rumah Alvin yang bergaya klasik itu. Sivia mengetuk pintu rumah Alvin, bi Inah membukakan pintu untuk Sivia.

"eh, Non Via. Masuk non.."

"iya, makasih bi"

Via melangkah masuk ke dalam rumah Alvin. Menunggu Alvin di ruang tamu keluarganya. Terdengar langkah dari arah belakang Sivia. Sivia melihat siapa yang ada di belakangnya. Tampak seorang laki-laki berusia sekitar 50 tahunan tersenyum kepadanya. Sivia segera bangun dari duduknya.

"wah, ada Via. Gimana kabar kamu, sayang??"

"baik, pa. Papa sendiri gimana?? Kapan papa nyampe??" tanya Sivia seraya mencium tangan papa Alvin tersebut.

"dua hari yang lalu. Kamu makin cantik ya Vi..." puji papa Alvin. Sivia tersenyum simpul mendapatkan pujian seperti itu.

"hush...jangan ngegombal deh Pa" ucap seseorang. Tampak Alvin turun dari tangga menuju tempat papanya dan Sivia.

"siapa yang ngegombal?? Sivia emang makin cantik kok"

"cantik dari mana, Pa?? Nggak ada cantik-cantiknya gitu..." sindir Alvin.

"yeee ngiri...yang cantik ngalah deh...yang matanya bener ngalah..." balas Sivia.

"haha...benar Vi. Yang matanya masih bener ngalah aja..." Alvin cemberut. Papanya memang kompak dengan Sivia.

"udah deh. Susah kalau Sivia udah ketemu dengan Papa. Alvin disindirin mulu."

"haha...makanya Vin, jadi anak baik nan imut donk seperti gue..."ucap Sivia narsis.

"grrr...udah. Yuk kita berangkat. Ntar film nya keburu mulai"

"ah, Alvin merusak aja nih. Papa kan masih kangen dengan Sivia"

"nggak boleh. Sivia tuh buat Alvin. Sekarang giliran kami buat berdua." ucap Alvin sambil meletakkan tangan di bahu Sivia.

"aww...sakit Vi." ternyata tangan Alvin di cubit cukup keras oleh Sivia. Sivia hanya tersenyum penuh kemenangan.

"gue kan udah pernah bilang, gue nggak akan terpengaruh dengan leboy seperti lo" ucap Sivia.

"ha?? Jadi Alvin ini playboy Vi??"

"banget Pa. Tiap hari pasti beda cewek yang di ajaknya jalan. Via ampe puyeng ngingat cewek-ceweknya Alvin"

"dan sekarang kamu??" papa Alvin balik menggoda Sivia. Sivia gelagapan.

"bu..bukan gitu juga pa...yah, mumpung ada yang traktir kenapa nggak?? Rejeki kan nggak boleh di tolak pa..." Sivia membela diri.

"haha...gelagapan kan lo. Bilang aja lo emang mau jalan ama orang ganteng kayak gue ini"

Sekarang giliran Sivia yang manyun. Mengapa jadi dia yang digodain??

"awas yah kamu Vin. Habis kuliah langsung papa nikahin kamu, biar nggak jadi playboy lagi" Tawa Sivia pecah. Kasihan Alvin digituin oleh papanya. Lihatlah mukanya, makin ditekuk seribu.

"ya udah Pa. Kami berangkat dulu" pamit Sivia berusaha menghentikan tawanya. Dia tak ingin Alvin di godain seperti itu terus. Awalnya memang Alvin, tapi lama-lama dia juga bisa jadi korban. Dia menyalami tangan papa Alvin begitupun dengan Alvin. Mereka segera beranjak menuju mobil Alvin yang telah terparkir di halaman rumahnya. Dan menuju salah satu bioskop di Jakarta.

***

"lo laper nggak Vi??" tanya Alvin. Mereka telah selesai menonton. Jam menunjukkan pukul 9 lebih 15 menit.

"laper Vin. Tadi belum sempat makan. Makan dulu yuk. Belum terlalu malam juga"

"yakin?? lo kan cewek Vi"

"ha?? Maksud??"tanya Sivia tak mengerti.

"kan udah jam segini. Cewek kan jarang mau makan jam segini. Ntar gemuk katanya."

"yeee...lo kayak nggak kenal gue aja. Gue mah kalau laper ya laper aja. Masa bodoh mau pagi, siang, malamnya." Alvin tersenyum, beginilah Sivia. Sahabatnya yang satu ini tidak sama seperti cewek-cewek kebanyakan yang sibuk memikirkan bentuk badannya. Gue nggak mau nyiksa badan, begitu alasannya.

"ok, let's we goo..."

Mereka menuju salah satu cafe yang tak jauh dari tempat mereka menonton. Mereka memilih salah satu meja di dekat jendela. Tempat favorit mereka tiap kali makan. Karena mereka sangat senang melihat kendaraan yang berlalu lalang di luar sana.

Di sela-sela makan, mereka isi dengan obrolan-obrolan ringan. Obrolan hangat antar sahabat. Sudah lama mereka tidak makan berdua seperti ini. Sesungguhnya, momen-momen seperti ini sangat mereka rindukan.

"kapan sih lo bakal kasih tahu gue cinta pertama lo itu, Vi??" tanya Alvin.

"kapan lo bakal ngenalin gue cewek yang benar-benar lo cinta??" tanya Sivia balik.

Alvin merengut. "lo masih cinta ama dia??" tanya Alvin lagi.

"masih. Dan gue bakal selalu cinta ama dia selama gue belum ngerasa kehilangan dia, cinta pertama gue"

"yayaya...selalu jawaban itu yang lo beri"

Sivia hanya tersenyum. Di sudut lain cafe itu, seseorang menatap sendu ke arah mereka berdua.

Andai lo tahu...andai...

***

Tak terasa kini Sivia, Alvin dan Riko telah memasuki semester akhir kuliah mereka. Mereka telah disibukkan oleh penyusunan tugas akhir. Mereka harus sering konsultasi dengan dosen pembimbing mereka masing-masing. Sedikit banyak, hal ini mempengaruhi pertemuan mereka. Sivia yang biasanya ngumpul dengan Alvin dirumahnya ataupun di rumah Alvin, sudah jarang bertemu. Meskipun mereka berada di kelas yang sama. Paling, saat di kelas saja mereka bisa bertemu. Selebihnya sangat sulit.

Apalagi jika harus bertemu dengan Riko. Selain beda fakultas, kegiatan yang sangat banyak dan jadwal yang susah di pertemukan lagi, membuat mereka jarang bertemu. Jika biasanya mereka ada bertemu di taman kampus, kali ini tidak.

Waktu berlalu, proyek akhir mereka selesai. Besok mereka akan menghadapi sidang. Sivia tak memungkiri kalau dia sedikit gugup. Dari tadi dia sibuk mondar-mandir di dalam kamarnya.

drrrttt....drrttt...

Hp Sivia bergetar. Sivia segera melihat ke layar handphone-nya. 'Riko's calling'. Tumben nih anak nelpon, batin Via. Sivia menekan tombol hijau dan meletakkan hp di telinga kanannya.

"halo Vi..." sapa Riko di ujung sana.

"ya halo. Kenapa Rik??"

"nggak ada. Gue cuma pengen nelpon. Nggak boleh nih??"

"boleh sih, tapi tumben gitu lo nelpon gue"

"gue cuma pengen cerita-cerita. Gimana persiapan lo buat besok??"

"persiapan sih udah matang. Tapi gue masih gugup, Rik. Takutnya gue besok lupa-lupa. Lo sendiri gimana??"

"gue juga gugup sih, Vi. Tapi gue nggak mau terlalu di bawa beban. Justru kalau gue ke bawa beban, yang ada besok semua yang ada di otak gue pada terbang"

Untuk selanjutnya Sivia dan Riko terlibat pembicaraan yang seru. Hal ini sedikit banyak membuat Sivia melupakan kegugupannya. Saat tengah asik bercerita, pintu kamar Sivia terbuka. Terlihat sosok Alvin di luar sana.

"hmmm...Rik, ada Alvin. Udahan dulu ya. Thanks lo udah bantu gue ngilangin kegugupan gue"

"oh ok...sama-sama. Bye Vi. Good luck for tomorrow."

"bye" Sivia mematikan hp nya. Dan langsung melangkah menuju Alvin yang sudah duduk manis di tempat tidur Sivia.

"nelpon siapa Vi??"

"Riko"jawab Sivia singkat.

"Riko?? Kenapa dia??"

"nggak ada apa-apa sih. Kita cuma cerita-cerita doank. Dia juga nyemangatin gue buat besok. Lo sendiri, ada apa??"

"nggak ada apa-apa juga. Kita kan udah lama nggak ngumpul, Vi. Gue...kangen."

"gue juga kangen, Vin. Kita sibuk terus beberapa bulan ini. Jadi susah buat ngumpul"

"yang penting malam ini kita udah ngumpul lagi kan, Vi. Ayo kita habiskan malam ini berdua. Nggak usah di bawa ribet buat sidang besok. Gimana kalo kita nonton DVD. Gue baru dapat film bagus nih"

Sivia menganggukkan kepalanya dan tersenyum. Mereka merindukan saat ini, yang sudah berbulan-bulan tak ada mereka lakukan. Malam ini hanya milik kedua sahabat itu. Semua beban mereka lepaskan. Termasuk masalah untuk sidang mereka esok hari.

Andai lo tahu...

***

"yeee..." puluhan toga sarjana berterbangan di udara. Sorak-sorai kegembiraan terdengar di dalam gedung kampus tersebut. Ya, hari ini adalah hari wisuda Sivia, Alvin, dan Riko. Kuliah mereka telah selesai, gelar sarjana pun telah mereka raih.

"Via...Via..." panggil Alvin.

Senyum kebahagian masih terpatri di bibir Sivia. Dia melangkah mendekati Alvin. Saat ia sudah berada tepat di depan Alvin, Sivia langsung memeluk Alvin erat. Sangat erat. Alvin membalas pelukan Sivia tak kalah erat.

"lo cantik, Vi" puji Alvin. Tak ayal, hal ini membuat pipi Sivia bersemu merah. Ini pertama kalinya, Alvin memuji dirinya dengan tulus. Siapa pun yang melihat Sivia saat ini, pasti akan mengatakan hal yang sama. Ia terlihat sangat cantik.

"makasih..." hanya kata itu yang mampu di ucapkan Sivia. Kedua orang tua Sivia datang menghampiri Sivia dan Alvin. Begitu juga papa dan opa Alvin. Mereka memberikan selamat kepada Sivia dan Alvin.

"selamat ya. Kalian bisa lulus dengan nilai cum laude. Kami benar-benar bangga dengan kalian berdua." ucap papa Alvin.

Orang tua Sivia dan opa Alvin menganggukkan kepala tanda setuju.

"iya pa, ma, opa makasih. Semua juga berkat doa kalian kami bisa seperti ini" ucap Sivia tulus.

"Via...Via..." suara lain memanggil Sivia. Tampak Riko tengah berlari kecil menuju tempat Sivia dan Alvin. Sivia tersenyum. Saat Riko telah berada di depannya, Sivia juga melakukan hal yang sama. Memeluk Riko dengan erat. Riko sedikit terkejut tapi juga senang terhadap hal yang dilakukan Sivia. Riko pun membalas pelukan Sivia. Sivia hari ini betul-betul bahagia.

Setelah melepaskan pelukannya, Riko melihat Alvin kemudian mendekapnya. Dekapan bersahabat. Sivia sangat senang akan hal itu.

"Vi, gue mau foto berdua ama lo" ucap Riko dan Alvin berbarengan setelah melepaskan dekapan mereka. Sivia sedikit cengo. Begitu pun Alvin dan Riko. Bagaimana bisa barengan gini??

"sama gue duluan ya, Vi..." pinta Alvin.

"ama gue deh, Vi..." Riko tak mau kalah

"gue aja Vi..."

"gue donk...." Sivia yang menyadari keributan kecil tersebut segera menengahi.

"Ok, kita foto bertiga..." ucap Sivia sambil menggandeng tangan keduanya. Alvin di sisi kanan dan Riko di sisi kiri. Alvin dan Riko ingin membantah. Tetapi Sivia keburu menarik tangan mereka.

Orang tua Sivia mengambil kamera yang mereka bawa. Kemudian mengambil gambar Sivia, Alvin dan Riko. Sivia tersenyum lebar, begitupun Alvin dan Riko.

klik...

Sivia yang narsisnya lagi kumat meminta agar sekali lagi di foto bertiga dengan Riko dan Alvin. Alvin, Riko menyetujui hal itu.

"satu...dua...tiii....ga" ucap papa Sivia.

Cup. Sebuah...bukan, bukan sebuah. Tapi dua kecupan mendarat di pipi kiri dan kanan Sivia. Pipi kanannya dari Alvin, dan pipi kirinya dari Riko. Muka Sivia bersemu merah, semerah kepiting yang habis di rebus. Alvin dan Riko yang menjadi tersangka tersenyum penuh arti. Sedangkan orang tua mereka sudah tertawa melihat Sivia seperti itu.

"yuk Vi, kita foto berdua dulu" lagi-lagi Alvin meminta foto berdua dengan Sivia. Sivia masih terdiam akibat kejadian tadi. Alvin menarik tangan Sivia dan meminta ayah Sivia mengambil gambar mereka lagi.

"ok, habis sama Alvin, dengan gue ya Vi" Riko kali ini mengalah. Dia tak ingin, gara-gara berebut dengan Alvin, dia tak jadi mendapatkan foto berdua dengan Sivia.

klik.

Sekali lagi, blitz yang berasal dari kamera papa Sivia menyala. Kali ini, Alvin merangkul Sivia. Bukan sekedar rangkulan biasa, rangkulan yang sangat erat. Setelah Alvin, kini giliran Riko. Riko berpose sama seperti Alvin. Merangkul Sivia dengan erat.

Untuk kali ini, aku ingin merasakan hangatnya bersamamu...

***

Sebulan kemudian...

"opa...opa nggak bisa paksa Alvin seperti ini. Alvin udah gede, Alvin bisa nentuin jalan hidup Alvin sendiri. Lagian Alvin terlalu muda untuk mikirin hal itu" ucap Alvin penuh emosi.

"tapi kamu harus!! Ini sudah menjadi keputusan opa!!" jawab opa Alvin.

"pa..papa bantuin Alvin donk. Bilang sama opa, Alvin nggak mau dipaksa seperti ini"

"iya Pa. Alvin masih terlalu muda untuk hal-hal seperti itu. Kasian Alvin, nanti dia terbebani"

"tidak bisa, Alvin harapan papa satu-satunya. Jadi tolong jangan membantah papa lagi" putus opa akhirnya.

Final. Jika opa Alvin telah berkata seperti itu, tak ada yang bisa membantah. Termasuk papa Alvin sendiri. Mau tidak mau, Alvin harus mengikuti perintah opanya.

"hah!! Opa nggak sayang dengan Alvin" Alvin meninggalkan Opa dan Papa nya dengan perasaan penuh emosi menuju kamarnya. Dia harus menenangkan hati dan pikirannya yang masih berkecamuk.

***

Alvin terus dilema. Keputusan opa nya semakin dekat untuk segera dia laksanakan. Jika dia sanggup, dia sangat ingin menentang opa nya, dan memperjuangkan semua yang menjadi pilihan hatinya. Tapi apalah, sejak kecil dia tak pernah sekali pun menentang orang tuanya. Dia slalu menuruti semua yang di suruh oleh mereka. Sehingga kini, saat dia seharusnya memperjuangkan dirinya, dia tak sanggup berbuat apa-apa.

***

"Alvin..." panggil Opa.

"ya??"

"sini, ada yang ingin opa bicarakan denganmu. Penting." perintah opa Alvin.

Alvin menghampiri opa nya yang sedang berada di ruang keluarga itu. Disana juga ada papa Alvin. Wajah papa Alvin terlihat menegang, kedua tangannya terkepal. Jelas sekali ia berusaha meredam emosinya. Ada apa?? Pikir Alvin.

"ada apa??" tanya Alvin setelah ia duduk tepat didepan opa dan ayahnya.

"kamu tahu, opa tidak suka berbelit-belit. Opa hanya ingin bilang, kamu sudah opa jodohkan dengan cucu sahabat opa. Bukan sekedar perjodohan, kamu akan segera opa nikahkan dengan cucu sahabat opa itu. Nanti malam mereka akan kesini. Kamu bisa ketemu dengan calon istri kamu."

Ibarat petir yang menyambar di siang hari, Alvin saat itu hanya bisa ternganga. Hatinya mencelos mendengar fakta yang sangat menyudutkan dirinya. Dijodohkan?? Dinikahkan?? Hei, emang ini masih jaman Siti Nurbaya??

"ma..maksud opa apa?? Dijodohkan?? Nikah??"

"iya, kamu opa jodohkan dengan cucu teman opa. Dan kamu tidak bisa menolaknya" tegas opa.

“opa…Alvin yakin opa becanda kan?? Ini nggak serius kan??” tanya Alvin meyakinkan.

“tidak, opa tidak sedang becanda. Opa serius. Opa ingin melihat kamu menikah, sebelum nantinya opa…meninggal”

“ta..tapi…”

“tidak ada tapi-tapian. Kamu harus menurutinya!” opa memberikan penekanan pada kata ‘harus’.

"opa...opa nggak bisa paksa Alvin seperti ini. Alvin udah gede, Alvin bisa nentuin jalan hidup Alvin sendiri. Lagian Alvin terlalu muda untuk mikirin hal itu" ucap Alvin penuh emosi.

"tapi kamu harus!! Ini sudah menjadi keputusan opa!!" jawab opa Alvin.

"pa..papa bantuin Alvin donk. Bilang sama opa, Alvin nggak mau dipaksa seperti ini"

"iya Pa. Alvin masih terlalu muda untuk hal-hal seperti itu. Kasian Alvin, nanti dia terbebani"

"tidak bisa, Alvin harapan papa satu-satunya. Jadi tolong jangan membantah papa lagi" putus opa akhirnya.

Final. Jika opa Alvin telah berkata seperti itu, tak ada yang bisa membantah. Termasuk papa Alvin sendiri. Mau tidak mau, Alvin harus mengikuti perintah opanya.

"hah!! Opa nggak sayang dengan Alvin" Alvin meninggalkan Opa dan Papa nya dengan perasaan penuh emosi menuju kamarnya. Dia harus menenangkan hati dan pikirannya yang masih berkecamuk.

***

Ya, itulah yang opa Alvin katakan padanya. Atau opa Alvin paksakan padanya. Malam hari setelah opa Alvin menyampaikan hal itu, Alvin bertemu dengan perempuan yang dijodohkan dengannya. Agni namanya. Tak Alvin pungkiri, Agni merupakan gadis yang manis, tapi sedikit cuek. Satu hal yang Alvin ketahui pada saat ia bertemu dengan Agni, Agni sebenarnya tidak menyetujui dengan perjodohan ini. Tapi karena ia sangat menyayangi opanya, maka ia menuruti semua yang diinginkan oleh opanya. Walaupun ia harus mengorbankan perasaannya.

Alvin menghela napas. Mengapa begitu rumit permasalahan yang ia hadapi?? Alvin mau saja menuruti keinginan opanya itu. Tapi, dia memiliki pilihan hatinya sendiri. Pilihan hatinya yang belum sempat ia ungkapkan. Kini, dia sudah main dijodohkan saja. Bukan hanya perjodohan. Tapi perjodohan yang mengharuskan ia segera menikahi gadis pilihan opanya. Masih adakah yang lebih buruk?? Pikir Alvin sarkatis.

Alvin mendengar pintu kamarnya terbuka. Tampak sang Ayah berdiri di ambang pintu sana.

“Alvin…papa ingin ngomong dengan kamu.”

Alvin tak menjawab. Ia hanya menatap papanya dengan tatapan nanar dan sedikit mendengus. Papa Alvin kemudian duduk di tepian kasur Alvin. Memandang anaknya yang sudah berputus asa itu.

“Alvin..papa tahu ini berat buatmu. Tapi mau bagaimana lagi, keinginan opa tak ada yang bisa menentang, termasuk papa. Kamu tahu kan, hanya oma yang bisa meluluhkan opa mu. Tapi oma sekarang sudah nggak ada. Dan nggak ada yang bisa kita lakukan”

Alvin tak menanggapi sama sekali. Tapi ia mendengarkan semua yang diucapkan oleh papanya, dan membenarkan segala ucapannya. Ya, hanya oma yang bisa meluluhkan opa, batin Alvin.

“Papa harap, kamu bisa mulai belajar membuka hati untuk Agni. Biar bagaimanapun, dia adalah calon istrimu. Yah, tapi semua akan terasa sulit jika kamu tidak terlebih dahulu jujur dengan hatimu. Ibarat kamu mengisi air ke dalam botol yang berlubang, semua hanya kesia-siaan. Tak bermakna apa-apa"

"jujurlah, karena itu akan sedikit mengurangi beban di hatimu" nasihat papa Alvin. Papa Alvin menepuk pundaknya, kemudian berlalu meninggalkan Alvin di kamarnya, yang masih terselimuti dalam kebisuan.

Yah, mungkin memang ini saatnya. Walau dengan cara yang tak pernah sekalipun aku harapkan.

***

"susahnya jadi pengangguran gini" keluh Sivia.

Sudah hampir 3 bulan sejak ia menyelesaikan kuliahnya, tapi Sivia belum juga mendapatkan pekerjaan. Sivia yang biasanya aktif, sekarang hanya berdiam diri dirumah. Sungguh sangat membosankan.

"ok, sekarang apa rencana kita selanjutnya??" tanya seorang laki-laki pada sivia.

"nggak tau Rik. Ngelamar kerja sana-sini nggak ada yang nerima. Gue bosen Rik, dirumah mulu. Berdua lagi dengan lo nasibnya sama" ucap Sivia sedikit sinis dengan laki-laki itu -Riko-.

Riko tertawa kecil, dia tahu nada sinis itu hanya candaan dari Sivia. "itu tandanya kita jodoh, Vi"

"hueee...asal nyeblak aja lo!! Gue puyeng nih. Lo hibur gue kek"

"Ok, mana gitar lo. Gue pinjem"

Sivia mengambil gitar dikamarnya, kemudian kembali menuruni undakan tangga dan menuju ke tempat Riko di gazebo halaman belakang rumahnya. Sivia memberikan gitar tersebut pada Riko.

"mau nyanyi apa??" tanya Sivia.

"dengerin aja" Riko tersenyum jahil.


Langkahku semakin berat

langkah menyusuri

Mondar-mandir di keramaian kota

Hati yang bingung lamaran kerja ditolak

Engga tau kenapa kurang syaratnya

Sivia yang mendengar bagian awal dari lagu yang dinyanyikan Riko jadi tertawa sendiri. Ada-ada saja Riko ini. Tapi memang sih, lagu ini mencerminkan keadaan mereka saat ini. Akhirnya, karena terbuai dengan lagu yang dinyanyikan Riko, Sivia jadi ikut menyanyikan lagu tersebut.


Andai saja ku punya harta yang melimpah aku takkan terhina

Pikir-pikir dari pada ku melamar kerja lebih baik ku melamar kamu

Sivia dan Riko menyelesaikan nyanyian mereka sambil tertawa. Beban karena belum juga mendapatkan pekerjaan terasa terbang. Ditengah tawa mereka, tiba-tiba hp Sivia berbunyi.

Alvin calling.

"bentar ya Rik, dari Alvin" pamit Sivia. Riko hanya mengangguk kecil.

"halo? Kenapa Vin??"

"..."

"gue dirumah"

"..."

"di taman?? Ok, gue kesana"

"aduh, sorry ya Rik. Alvin minta gue nemuin dia sekarang di taman." ucap Sivia dengan mimik bersalah.

"ya udah, nggak papa kok Vi. Gue pulang aja. Mau gue anterin??"

"nggak usah, Rik. Gue sendiri aja. Kan kita beda arah"

Sivia dan Riko keluar dari rumah Sivia. Saat sudah tiba didepan rumah Sivia, mereka berpisah. Riko menuju rumahnya, sedangkan Sivia menuju taman.

Selama di perjalanan, Sivia merasakan firasat yang tidak enak. Dari nada bicara Alvin tadi, sepertinya Alvin sedang dalam masalah.

Gue butuh lo, Vi. Sekarang. Gue tunggu lo di taman kompleks.

Nada suara Alvin tadi, menyiratkan sesuatu. Sesuatu yang sangat mencemaskan bagi Sivia. Suara itu...tersirat sebuah kesedihan yang mendalam disana.

***

Sedari tadi hanya keheningan yang menyelimuti keduanya. Sudah 15 menit sejak Sivia datang ke taman ini, tapi belum ada salah satu dari mereka yang memulai pembicaraan. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Vin..." Sivia mulai buka suara. Ditatapnya Alvin yang saat ini tengah duduk di sampingnya. Orang yang selama ini slalu ada disisinya, menemaninya, dan slalu ada disaat Sivia membutuhkannya. Alvin tidak menanggapi panggilan Sivia. Dia tetap memandang lurus ke depan. Pandangan matanya kosong. Kesedihan yang mendalam terpancar dari mata yang selama ini tidak pernah kehilangan cahaya keceriaannya.

Tiba-tiba, rasa cemas kembali menyelimuti hati Sivia. Tidak pernah Alvin seperti ini. Tidak pernah. Bahkan disaat ia sangat terpuruk sekalipun.

"gue nggak tau, kesalahan apa yang selama ini udah gue buat" Alvin mulai bercerita dan Sivia menempatkan dirinya sebagai pendengar yang baik.

"gue selama ini udah berusaha nurut ama orangtua gue, keluarga gue, termasuk dengan opa. Gue paling nggak bisa bantah kata-kata mereka" nada Alvin terdengar pilu.

"tapi sekarang kenapa mereka seolah ingin ngancurin hidup gue, ngancurin harapan gue, dan yang pasti ngancurin cinta gue dengan rencana konyol mereka itu!!" kali ini terdengar emosi dalam suaranya. Sivia masih belum bisa mengerti maksud dari ucapan Alvin.

"dan bodohnya gue lagi, gue nggak bisa memperjuangkan itu semua!! Gue nggak bisa memperjuangkan harapan gue, keinginan gue, cinta gue, karena selama ini gue terlalu jadi anak yang nurut!! Gue benci diri gue yang ini, Vi!! Gue benci!!" Alvin memukul keras sisi bangku taman yang kosong itu, membuat Sivia terlonjak kaget.

"memperjuangkan?? Memperjuangkan seperti apa maksod lo?? Dan...dan terlalu jadi anak yang nurut?? Vin, beneran gue gak ngerti maksud ucapan lo" ucap Sivia.

Alvin menatap Sivia dengan tatapan sendu. Sungguh ia tak mampu memngungkapkan kenyataan yang sangat menyakitkan baginya itu. Tapi mau bagaimana?? Sekarang waktu yang pas (walaupun sebenarnya sangat tidak tepat) untuk jujur dengan Sivia. Sivia berhak tau.

"Vi, gue dijodohin dengan cucu temen Opa. Sebulan lagi, acara pernikahan gue bakal dilaksanain"

Sivia menatap Alvin tak percaya. Apa katanya?? Di jodohkan?? Sebulan lagi?? Hei, memang ini masih jaman Siti Nurbaya??

"lo serius?? Gimana bisa, Vin??"

"gue nggak ngerti, Vi. Ini semua kemauan opa. Gue ama papa udah berusaha nolak keinginan opa ini. Tapi katanya, cuma gue cucu laki-laki satu-satunya yang paling dia harapin. Dan dia sangat pengen liat gue nikah sebelum dia meninggal" Alvin menundukkan kepalanya begitupun dengan Sivia. Dia masih tak menyangka, sahabat kecilnya ini akan segera dinikahkah.

"dan...lo udah ketemu dengan siapa yang mau dijodohkan dengan lo??"

"udah...namanya Agni. Hampir sebulan ini gue sering ketemu dia. Yah itu pun karena perintah opa. Dia sebenarnya juga tak menginginkan ide konyol opa kami ini. Tapi karena dia ingin membuat opanya bahagia, dia akhirnya menuruti. Walaupun sebenarnya dia punya pilihan hati sendiri."

"yah, gue cuma bisa bilang, lo yang sabar ya. Gue tau ini memang berat. Apalagi lo harus ngelepasin status lo sebagai playboy secepat ini. Tapi gue yakin lo bisa." ucap Sivia becanda.

Alvin langsung menatap Sivia dingin, membuat Sivia sedikit ketakutan juga. Alvin saat ini terlalu sensitif.

"haha...becanda Vin. Gue cuma mau ngibur lo. Gue nggak mau lo ampe stres gara-gara masalah ini. Turutin aja ya, permintaan opa lo ini dan jangan lo bawa beban. Nanti lo sendiri yang susah. Gue nggak mau lo gimana-gimana" ungkap Sivia tulus.

"Yah, sahabat gue udah mau nikah aja, gue gimana donk??" kali ini Sivia mengucapkan dengan nada dibuat sedih.

"Vi, ada satu hal lagi yang mau gue kasih tau ke lo. Mungkin ini telat bahkan sangat telat. Tapi, gue harus jujur saat ini juga." bukannya menanggapi ucapan Sivia tadi, Alvin malah kembali berkata serius membuat Sivia mengerutkan keningnya.

"apaan??"

Alvin menghela napas berat. Yah, ini harus diungkapkan. Walaupun seharusnya, ini sudah sejak dulu ia lakukan.

"lo tau kenapa gue jadi playboy ??" tanya Alvin yang hanya dijawab gelengan oleh Sivia.

"gue sebenarnya nggak pernah punya niat buat seperti itu. Bukan karena gue cuma pengen mainin cewek, deketin mereka terus ngasih harapan-harapan kosong ama mereka, selanjutnya gue tinggalin gitu aja. Bukan. Sebenarnya cuma satu yang selalu mengacaukan gue. Itu merupakan kebodohan terbesar dan yang saat ini menjadi kesalahan terbesar di hidup gue. Gue nggak pernah bisa jujur dengan perasaan gue. "

"gue slalu menemukan beribu-ribu alasan agar tidak jujur dengan perasaan gue. Tapi gue nggak pernah mendapatkan satu alasan pun untuk bersikap jujur. Karena apa?? Karena hati gue terlalu sering gue bohongi"

"selama ini cuma satu cewek yang slalu gue sayangi dan gue cintai. Dan itu nggak pernah berubah sejak kita SMA sampai sekarang, setelah hampir 7 tahun lamanya. Cuma satu. Dan hanya dia yang slalu memenuhi relung hati gue"

"siapa??" tanya Sivia lirih.

"elo, Via. Lo yang slama ini slalu gue sayangi, gue cintai, dan slalu ingin gue lindungi." betapa terkejutnya Sivia mendengar pernyataan Alvin itu. Dia tak menyangka, Alvin selama ini menganggapnya lebih dari sekedar sahabat.

"Sudah sejak dulu gue pengen ngungkapin perasaan gue ke lo. Tapi, tiap kali gue pengen jujur, sisi lain hati gue pasti nyegah gue, bilang bahwa lo sahabat gue dan nggak boleh lebih dari itu. Gue tau, ini semua salah, sangat salah."

"Sekalinya gue udah bisa nyingkirin kata-kata dari sisi jahat hati gue, gue malah kepikiran tentang cinta pertama lo yang nggak pernah bakal bisa lo lupain kecuali saat lo ngerasa lo benar-benar udah kehilangan dia. Saat mikirin itu, yang gue tau, gue harus mundur. Gue nggak pernah mampu buat ngungkapin semua perasaan gue ke lo. Ya, gue emang pengecut. Gue emang pecundang. Seperti yang udah gue bilang, gue bisa menemukan seribu alasan buat nggak ngungkapin perasaan gue" ungkap Alvin panjang lebar.

Keheningan kembali menyelimuti keduanya. Hal yang seharusnya sejak dulu terungkap, kini akhirnya tersampaikan. Walaupun, sekali lagi, ini sudah sangat terlambat.

"kenapa baru sekarang, Vin?? Kenapa di saat semuanya udah nggak mungkin, lo baru jujur dengan gue!!" ucap Sivia sedikit emosi.

"lo tau Vin?? Lo itu adalah cinta pertama gue yang selama ini slalu gue ceritain ke lo, lo yang selalu bikin gue bahagia sekaligus sakit saat ngeliat lo ama cewek-cewek lo itu, lo orang yang slalu gue tunggu kehadirannya, dihadapan gue, bahkan dalam mimpi gue sekalipun. Cuma lo, Vin. Cuma lo. Selama hampir tujuh tahun ini juga" air mata telah membasahi pipi putih Sivia. Ya, seandainya Sivia (juga) mengungkapkannya sedari dulu. Seandainya.

"Vi..." Alvin tak mampu mengucapkan apa-apa lagi. Seharusnya cinta yang dapat dengan mudah terbalas, malah harus terpisah bahkan sebelum bersatu hanya karena tak adanya keberanian dalam diri mereka untuk mengungkapkan.

"dan kenapa selama ini gue menutupinya?? Karena gue nggak mau sakit Vin, dan gue nggak mau kehilangan lo. Gue udah cukup sakit ngeliat lo dengan cewek-cewek itu. Hah, tapi sekarang kenyataan yang sekarang harus gue terima jauh lebih sakit dari semua rasa sakit gue selama ini. Penatian gue selama ini ternyata sia-sia. Gue bodoh ya Vin??"

Alvin tak menjawab. Dia masih terlalu shock mendengar kenyataan ini.

nggak Vi, bukan lo yang bodoh. Gue sebagai cowok yang bodoh, gue yang terlalu pengecut untuk jujur. Kata-kata itu hanya mampu diucapkan Alvin dalam hati. Lidahnya terlalu kelu untuk ia gerakkan.

"hah...udahlah Vin. Nggak ada gunanya juga kita nyesel sekarang. Semua udah terlambat. Makasih udah mau jadi sahabat gue selama ini. Dan selamat buat pernikahan lo" ucap Sivia.

Ia pun akhirnya meninggalkan taman itu, meninggalkan Alvin, dan semua kenangan mereka. Rasa penyesalan itu terlalu kuat menggelayuti keduanya keduanya saat ini.

Seandainya sejak dulu terungkapkan. Seandainya mereka punya sedikit saja keberanian. Seandainya jalan cerita yang harus mereka tempuh tak seperti ini. Yah...seandainya...

***

Sudah dua hari ini Sivia tak keluar kamar. Dia hanya bisa menagisi semua yang telah terjadi. Cintanya telah terenggut karena ia tidak pernah memiliki keberanian untuk mengungkapkannya. Saat ia tau cintanya terbalas, pada detik itu juga ia harus menerima kenyataan, cinta itu takkan pernah ia dapatkan.

Memang benar, penyesalan selalu datang diakhir. Saat semua tak mungkin tercapai, saat semua telah ditelan oleh waktu, saat itu pula kita baru sadar, kita telah menyia-nyiakan kesempatan yang kita punya.

Tok..tok...tok...

Terdengar ketukan di pintu kamar Sivia. Tak lama kemudian terdengar suara orang yang mengetuk pintu kamarnya. Bukan. Bukan suara Mama Sivia yang sudah sejak Sivia mengurung diri dikamar berusaha membujuk anak gadisnya itu untuk keluar. Suara yang sedikit berat, milik seorang laki-laki.

“Vi, ini gue Riko. Lo bukain donk pintunya. Lo cerita ama gue ada apa. Gue siap kok dengerin cerita lo. Jangan ngurung diri kayak gini donk Vi. Kasian bokap nyokap lo”

Ya, itu suara Riko. Siapa yang memberitahu sahabatnya ini kalau Sivia mengurung diri di kamar?? Ah, ya. Siapa lagi kalau bukan orang tuanya. Tapi, kenapa Riko?? Biasanya juga Alvin. Hah, lagi-lagi Alvin. Batin Sivia.

Sivia bergerak menuju pintu untuk membuka pintu kamarnya. Entah karena angin apa, dia mau membuka pintu kamarnya. Padahal orang tuanya sudah sejak kemarin membujuknya, tapi tak pernah Sivia acuhkan.

“kenapa?” tanya Sivia datar. Tak ada emosi sama sekali dalam tiap ucapannya. Tapi dari tampilannya yang berantakan, semua orang tau, dia sedang memiliki masalah yang berat.

“bukan lo yang harusnya tanya gitu. Seharusnya gue yang nanya. Lo kenapa jadi kayak gini? Lo udah kayak zombie tau gak, gak keurus sama sekali.” Ucap Riko seraya membimbing Sivia untuk duduk di tepi tempat tidurnya.

“gue nggak tau Ko. Gue bener-bener nggak tau. Baru pertama kali gue rasain yang namanya patah hati. Dan ini sungguh...menyakitkan” ucap Sivia lirih.

“lo patah hati kenapa? Karena Alvin?? Dia punya cewek baru lagi? Bukannya udah biasa?!”ucap Riko bertubi.

“bukan hanya cewek baru, Ko. Tapi dia bakal punya istri. Dan dia baru jujur ama gue sekarang” Riko tampak terkejut. Walaupun ia tak sepenuhnya mengerti ucapan Sivia itu.

“maksudnya?” tanya Riko. Kemudian mengalirlah semua ceritanya dari bibir Sivia. Mulai dari perintah opa Alvin agar ia menikah dengan gadis pilihan opanya hingga pengakuan Alvin tentang perasaannya kepada Sivia yang sudah terpendam selama tujuh tahun.

“lo suka ama dia juga udah dari SMA kan?? Gila’!! Tujuh tahun kalian sama-sama suka, tapi nggak saling jujur?! Dunia emang udah gila!!”

“Lo yang sabar ya Vi. Gue yakin, lo pasti bakal dapet orang yang jauh lebih baik dari pada Alvin. Yah, walaupun gue akui, itu sulit. Tapi lo harus tetep mencobanya ya?? Hidup tidak pernah berjalan mundur, Vi. Biarkan Alvin dan semua kenangan kalian menjadi masa lalu. Biar bisa menjadi pelajaran tersendiri buat kalian.” Riko memberi semangat pada Sivia.

Sivia sedikit tersentuh dengan ucapan Riko. Ya, dia pasti bisa menemukan yang jauh lebih baik dari pada Alvin. Bukannya setiap masalah yang menimpa kita, selalu ada kebahagiaan yang menanti di baliknya?? Sivia percaya itu.

Sivia tersenyum kepada Riko. Senyum yang manis. Walaupun sebenarnya, ia masih berusaha menguatkan hatinya menerima kenyataan yang entah sampai kapan akan disesalinya.

Riko benar. Aku tak boleh seperti ini terus. Aku pasti bisa bangkit dan melupakan semuanya. Hah, Alvin...kenapa harus seperti ini kejadiaannya?? Perlu kau tahu, disaat kau mengungkapkan kenyataan itu, sejak saat itu yang ku tahu, aku telah kehilangan cinta pertamaku...

“Udah donk, jangan nangis terus. Lo makin jelek tau kalau nangis.” Ucap Riko sambil menghapus jejak-jejak air mata di pipi Sivia. Lagi-lagi Sivia tersentuh. Riko selalu berhasil menenangkannya.

Mungkin ini memang sudah saatnya, aku membuka hati untuk cinta yang lain...

***

Dalam perjalanan cinta seseorang hanya dibutuhkan sebuah keberanian. Keberanian untuk mengungkapkan isi hati, keberanian untuk berkata jujur. Apapun jawabannya, setidaknya kejujuran itu telah disampaikan kepada pemilik hati.

2/13/2011 1:46:49 AM

Ujung Pelangi


THE END

Akhirnya proyek aku ini selesai juga. Ini sebenernya proyek ketiga. Proyek pertama belum selesai, proyek kedua ilang lantaran harddisk laptop rusak, dan aku masih punya proyek keempat yang masih tahap awal.

Mohon maaf jika ceritanya ancur -banget-, maaf kalo ada typo soalnya ini cerita tanpa melalui proses editing sama sekali. Mohon maaf juga, aku pake nama anak Idola Cilik. Soalnya aku mempunyai kesulitan tersendiri dalam membuat nama orang.

Oh iya, bagi yang udah baca atau nggak sengaja baca, terima kasih dan mohon kritik sarannya. Ini cerita masih jauh banget dari kata bagus. Mana temanya pasaran lagi --"

Matur Sankyu....

0 komentar:

Posting Komentar