Pages

Kamis, 24 Maret 2011

Namaku Mata Hari: Kisah Tentang Mata-mata pada Perang Dunia I


Taraaa...kali ini aku balik lagi membawa referensi buku yang baru selesai aku baca. Judulnya Namaku Mata Hari karya Remy Sylado. Mungkin banyak yang udah baca buku ini. Tapi, bagi yang belum pernah baca, baru tau judulnya doank, aku saranin buat baca buku ini. Mau beli, minjam atau apapun asalkan jangan nyolong aja. Kenapa aku begitu menyarankan buat baca buku ini??

Pertama, karena bahasa dari sang penulis sangat lugas, jelas dan apa adanya. Mungkin terkesan frontal, tapi aku pribadi menyukai bahasa penulis yang seperti ini. Tak ada yang di tutup-tutupi.

Kedua, ceritanya. Novel ini menceritakan tentang Margaretha Geertruida (Grietje) Zelle, seorang Belanda berdarah Indonesia, yang merupakan seorang mata-mata pada zaman Perang Dunia I. Sisi lain kehidupannya yang tidak banyak diketahui oleh orang lain, yaitu kehidupannya selama di Indonesia yang merupakan ujung pangkal dirinya menjadi seorang pelacur. Pelacur? Bukannya mata-mata? Nah loh?

Dari pada penasaran, mending baca aja deh....Ini aku kasih sinopsis ceritanya...


Aku pelacur tulen
Tapi Aku penari sejati
Dan aku belanda berdarah Indonesia


MATA HARI, nama yang tercatat di berbagai literatur, terutama dihubungkan dengan spionase, mata-mata, intrik, juga sensualitas.

Hidup di seputar akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20, Mata Hari seperti mewadahi berbagai gejolak zaman yang menjadi ciri khas pergantian abad, sampai kemudian terseret menjadi agen ganda bagi Prancis dan Jerman pada Perang Dunia I. Dalam novel ini, dikisahkan periode hidupnya yang belum banyak disingkap, yakni hidup Mata Hari di Indonesia.


Nah, itu dia sedikit sinopsis dari bukunya. Waw, sinopsisnya aja bahasanya udah sedikit frontal ya?! Haha...teman-teman aku aja pas liat buku ini dan baca sinopsisnya pada bilang gini, "waw, kamu bacaannya berat ya?!" Terserah deh mau dibilang bacaannya berat atau gimana. Selama ceritanya menginspirasi dan menambah wawasan, kenapa tidak? Ya kan? Aku rasa itu aja. Selamat membaca bagi yang akan membacanya :)


Tiranika
00.56 WIB
Ujung Pelangi

Sabtu, 05 Maret 2011

Ketika Masa Itu Kembali

Opening Quotes

Menunggu adalah hal yang paling membosankan. Tapi tidak bagi mereka yang menunggu dengan sebuah harapan dan do’a di hati mereka.

Shilla menapaki kakinya dengan pasti menuju sebuah bukit kecil yang berada dibelakang perumahan tempat tinggalnya. Setiap hari ia melakukan rutinitas ini. Semenjak matahari mulai tergelincir ke barat, ia akan menuju ke tempat yang sama, melakukan hal yang selalu sama, dan pulang dengan perasaan yang sama. Tak pernah berubah. Sejak 10 tahun lalu.

Shilla akan menyapa dan tersenyum pada setiap orang yang dijumpainya selama perjalanan menuju bukit. Semua orang dapat merasakan kehangatan di setiap pancaran sinar mata gadis itu. Terkadang ia membawa tugas sekolahnya untuk ia kerjakan di bukit itu. Tapi semua orang akan merasakan hal yang sama pula setiap kali Shilla pulang –saat menjelang malam- dari bukit itu. Sinar kehangatan itu hilang. Digantikan dengan pancaran keputusasaan dan kekecewaan.

Tak banyak yang tau apa yang Shilla lakukan di bukit itu hingga mampu mengubahnya saat ia kembali. Sebenarnya yang dilakukan oleh Shilla hanya hal biasa. Duduk di bawah sebuah pohon besar yang terdapat sebuah batu besar disana. Shilla duduk di atas batu dan tak pernah beranjak terlalu jauh hingga nanti matahari kan kembali ke peraduannya. Ia menunggu.

Tinggal beberapa meter lagi menuju ‘pertapaan’nya. Shilla berhenti sesaat, memejamkan matanya, mencoba memenuhi rongga dadanya dengan udara sebanyak-banyaknya seolah esok ia akan mati kemudian menghembuskannya perlahan. Setelah puas, ia kembali membuka matanya dan melangkahkan kaki menuju batu yang cukup besar itu.

Shilla lantas duduk di atas batu itu, kembali memejamkan matanya sambil menikmati semilir angin yang menerpa wajah cantiknya. Hanya tujuh detik, gadis itu kembali membuka matanya dan menatap lurus pada pemandangan yang tersaji dihadapannya. Masih ritual yang sama seperti hari-hari sebelumnya.

“kapan kau kembali?” desisnya. Sangat pelan. Tak jelas pertanyaan itu ditujukan kepada siapa. Yang jelas, saat itu ia hanya sendiri. Mungkin kepada angin yang akan membisikkan suara hati Shilla tersebut kepada angin-angin yang lain, yang berada di seluruh penjuru dunia sana. Dalam hati, Shilla berharap, semoga angin juga menyampaikan pertanyaan itu pada orang yang ia maksud. Walau itu sangat tidak mungkin. Tak ada salahnya berharap, bukan?

Kriieet...

Shilla mendengar suara ranting patah. Sepertinya tak jauh dari tempat ia berada kini. Siapa? Tanyanya dalam hati. Shilla sedikit terheran. Bisa-bisanya ada orang lain yang –sangat ia yakini- berada tak jauh darinya. Tempat ia berada saat ini, sangat jarang ditemukan oleh orang lain karena tersembunyi oleh pepohonan dan semak-semak kecil setinggi dada, sekalipun orang itu telah sering datang ke bukit ini.

Shilla memutar kepalanya ke kiri dan ke kanan untuk mencari siapa yang telah berhasil menemukan tempat ini selain dirinya dan di saat ia berada disana pula. Tidak ada. Lalu siapa? Atau mungkin, apa? Tak mungkin seekor harimau besar dan ganas, kan? Kalau iya, sudah pasti harimau itu akan ditemukan warga sejak lama dan tak membiarkannya melanjutkan generasinya disini. Eh, tapi bisa saja tiba-tiba ada titisan harimau di bukit ini, kan? Tak ada yang tak mungkin di jaman seperti sekarang ini. Shilla jadi bergidik ngeri membayangkan hal tersebut.

“permisi...” terdengar sapaan dengan suara agak berat dari arah belakang Shilla. Ah, jangan-jangan yang dibayangkannya tadi benar. Sekarang siluman itu sedang menjelma menjadi sosok manusianya. Saat Shilla terlengah, ia akan menerkam Shilla. Waduh gawat! Shilla nggak mau mati di terkam siluman harimau mama, batinnya sarkatis.

“permisi...” suara tadi kembali menyapanya. Kali ini dengan sebuah tangan yang mampir di bahunya. Nafas Shilla sedikit tercekat. Tenang Shil...tenang. Santai...biasa aja nanggapinnya. Tapi tetap harus waspada. Shilla memperingatkan dirinya sendiri. Gadis itu menarik nafsnya sebelum akhirnya berbalik untuk melihat ‘makhluk’ yang menyapanya.

“ya?” tanya Shilla, berusaha tenang. Ha, seorang pria dengan perawakan ramah dan tubuh sedikit kurus yang ternyata menyapa Shilla dengan seulas senyum manis di bibirnya. Dari wajahnya, pria itu terlihat masih seumuran dengan Shilla.

“boleh saya duduk disini?” tanya pria itu sambil menunjuk batu yang di duduki oleh Shilla yang masih cukup untuk satu orang lagi.

Shilla menatap laki-laki itu sedikit ragu. Masih terbayang di otaknya tentang ‘siluman’, yang entah dari mana datangnya pemikiran konyol itu. Tapi kemudian Shilla mengangguk, menandakan ia mengizinkan laki-laki itu untuk duduk di sisinya. Tiba-tiba, sedikit rasa canggung menyergapi diri Shilla. Menerbangkan pikiran-pikiran ajaibnya tadi tentang siluman harimau.

Keheningan menyelimuti keduanya. Hanya desau angin dan suara gemerisik daun pepohonan yang menjadi musik latar yang mengiringi mereka berdua saat itu. Keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing. Shilla yang kembali memikirkan masalahnya dan pria itu dengan pikirannya sendiri.

Shilla kembali tersadar saat indra penciumannya –baru- menangkap wangi menenangkan, yang ia yakini berasal dari pria yang berada di sebelahnya. Shilla sedikit melirik pria itu dan baru menyadari penampilannya saat itu terlihat santai. Hanya dengan kaus Rip Curl dan celana borjuis tiga perempat yang memperlihatkan sedikit kakinya, serta sepatu kets putih dengan corak hitam di pinggirannya, pria itu terlihat...tampan?

Ya, memang harus Shilla akui, pria itu memang tampan. Ditambah dengan kulit kecoklatan itu yang semakin menegaskan ketampanannya. Shilla tertawa kecil dalam hati, saat memikirkan tentang kekonyolannya mengira bahwa pria itu adalah sesosok siluman. Bisa-bisanya ia berpikiran pendek speeti itu. Mana ada siluman setampan ini, batinnya.

“kalau boleh tau, kau sedang apa disini?” suara pria itu memecah keheningan. Shilla menatapnya sedikit aneh sekaligus heran. Aneh, karena ini adalah tempat ‘kekuasaan’ Shilla. Heran, karena seharusnya ia yang menanyakan hal tersebut.

“bukan apa-apa. Hanya...bermain,” Shilla tidak berbohong. Dia sedang ‘bermain’ dengan kenangan-kenangan masa lalu. Yah, walaupun sedari tadi hanya duduk diam. “dan...menunggu...” lanjutnya lagi. Shilla memang sedang menunggu –setidaknya menurut logikanya- kenangan di masa itu bisa kembali ke pangkuannya. Walau ia juga tak tau, kapan saat itu kan tiba.

“oh...” hanya itu tanggapan pria itu. Shilla jadi bingung sendiri. Bagaimana bisa ia berkata sedikit terbuka pada laki-laki yang baru dikenalnya. Kenal? Hei, bahkan namanya pun tidak Shilla ketahui. Shilla ingin bertanya siapa nama pria misterius itu, tapi keburu tertahan sebelum Shilla sempat mengucapkan satu katapun karena pria itu sudah terlebih dahulu angkat bicara.

“dulu aku sering seperti ini, duduk di bawah pohon rindang bersama seorang teman kecilku.” Ucap pria itu. Shilla mengerutkan keningnya pertanda bingung. Ada dua hal yang saat ini membuatnya heran. Pertama, apa pria ini mau membuka seri curhat? Kedua, hal yang sama dulu juga pernah terjadi pada Shilla.

“seorang gadis manis, namun cerewet,” lanjutnya. Pria itu tertawa kecil, begitupun dengan Shilla. Shilla yang saat itu menatap lurus kedepan dapat menangkap dari sudut matanya bagaimana pria itu tertawa. Sangat manis. Ditambah dengan adanya lesung di pipinya, mebeduhkan dan menenangkan, membuat Shilla kembali teringat pada seseorang di masa lalu.

Dulu Shilla dan seorang teman kecilnya setiap pulang sekolah akan kesini, bermain seharian, berlari hingga lelah, kemudian duduk berdua di batu ini menatap raja siang yang mulai turun ke peraduannya berganti tugas dengan dewi malam dan kawanan kerlip bintangnya. Nama teman kecilnya itu Rio yang sering dia panggil dengan sebutan ‘Paman Gembul’ karena saat itu Rio memiliki badan yang sedikit tambun. Sedangkan Shilla sendiri saat itu dipanggil ‘Putri Air’ (mata) karena sifat Shilla yang sangat cengeng.

“aku dan teman kecilku itu sering bermain bersama,” lanjutnya yang semakin membuat Shilla bingung karena pria yang tidak dikenalnya ini kembali melanjutkan sesi curhatnya. Shilla mengangkat bahu tak acuh.

“terkadang kami bermain kejar-kejaran, memanjat pohon ataupun bermain petak umpet yang kemudian berakhir dengan tangisannya yang begitu kencang karena tidak berhasil menemukanku.” Senyum kembali terukir di bibir pemuda itu. Sedangkan Shilla kembali asik tenggelam dalam kenangannya.

Shilla jadi teringat bagaimana dulu Rio harus berjuang habis-habisan untuk mengajaknya pulang kerumah. Setelah melihat matahari tenggelam, Shilla takkan mau beranjak dari tempat itu. Karena pada saat-saat menjelang malamlah, ia bisa menemukan sekumpulan kunang-kunang disana. Shilla pernah ngotot pada Rio untuk menangkap kunang-kunang itu. Awalnya ia menolak habis-habisan. Alasannya, kasihan kalau mereka ditangkap, begitu kata Rio dulu.

Tapi pada akhirnya Rio menyerah dan membantu menangkap seekor kunang-kunang. Malangnya, saat Rio sudah berhasil menangkap satu ekor serangga yang mampu menghasilkan sinar dari ekornya itu dan memasukkannya ke dalam botol yang mereka temukan di dekat sana, hewan itu malah mati. Dengan sangat terpaksa, mereka harus melepaskan kembali kunang-kunang itu. Tapi saat akan dilepaskan, kunang-kunang itu kembali hidup dan terbang meninggalkan mereka. Tak menunggu waktu lama, Shilla langsung nangis kejer yang membuat Rio bingung bagaimana mendiamkannya.

“ayo Shilla, kita pulang dulu. Aku berjanji besok akan menangkapnya kembali untukmu.” Begitu janji Rio saat itu.

Shilla tertegun. Janji itu belum sempat terpenuhi oleh Rio. Ada perasaan tertohok menyerang dirinya secara tiba-tiba. Karena janji itulah, Shilla masih bertahan dan tiap hari kembali lagi ke tempat ini, berharap takdir akan membawa Rio memenuhi janjinya.

Shilla kembali tersadar saat pri itu kembali di dengarnya bersuara.

“terkadang sehabis hujan turun, ia akan datang padaku dan mengajakku untuk melihat pelangi.” Shilla tersenyum tipis. Dulu ia juga seperti itu. Saat hujan tak lagi menurunkan titik-titik airnya yang besar, Shilla akan datang ke rumah Rio, memaksanya untuk ikut ke tempat ini melihat hadirnya pelangi. Karena dari sini, pelangi akan terlihat jelas.

“mengapa kau selalu memaksaku untuk melihat pelangi? Apa bagusnya? Memang sih warnanya bagus-bagus. Tapi tetap aja bentuknya cuma garis melengkung. Tak ada bagus-bagusnya.” Omel Rio kala itu.

“kar’na bagiku, pelangi itu adalah harapan,” hanya itu yang di jawab oleh Shilla. Hanya enam kata, tapi mampu membuat Rio terdiam.

Shilla yang masih berumur tujuh tahun hanya mampu menjawab dengan kalimat singkat itu. Tapi kini, ia sudah bisa menyempurnakan jawabannya. Pelangi adalah harapan. Harapan untuk kehadiran sesuatu yang lebih baik, walaupun awalnya yang hadir adalah badai, harapan untuk kemunculan pelangi selalu ada. Seperti harapannya kini akan masa lalu.

Shilla menghela nafas. Gemuruh di dadanya seakan tak mau berhenti kala mengenang ‘paman gembul’nya itu. Apalagi ditambah dengan kehadiran pria misterius, aneh –namun tampan-, dan tak jelas asal usulnya ini. Bisa-bisanya dia memiliki masa kecil yang sama dengannya. Atau jangan-jangan, pria ini memiliki indra keenam sehingga ia bisa membaca isi pikiran Shilla lalu mengaku-ngaku dia mempunyai pengalaman seperti itu?! Waduh gawat! Enak saja dia ‘membajak’ kenangan Shilla!

“tapi kemudian...aku mengecewakannya,” ucap pria itu sendu. Shilla yang awalnya ingin protes, jadi terdiam. Ia mengalihkan pandangannya ke bawah, menatap tanah serta dedaunan kering yang berserakan disana. Mimik muka Shilla turut berubah sendu, mengingat dulu Rio dulu juga mengecewakannya.

***

Setelah insiden lepasnya kunang-kunang, Shilla dan Rio berjalan berdua menuju rumah mereka yang letaknya berseberangan. Masih ada sisa-sisa air mata di pipi putih Shilla. Sesekali juga terdengar Shilla menarik nafas yang cukup panjang karena kelelahan menangis.

“eh iya, Shilla. Aku baru ingat. Tadi ibuku mengatakan bahwa besok kami akan pergi. Aku tidak tau kami akan pergi kemana,” ucapan si kecil Rio memcah keheningan yang sedari tadi menyelimuti mereka.

“jam berapa kau akan pergi?” tanya Shilla.

“kata ibu, setelah aku pulang sekolah. Tapi mungkin besok aku akan pulang sekolah lebih cepat.”

“’kenapa?”

“aku tidak tau”

“kalau kau pergi setelah pulang sekolah, lalu kapan kita akan pergi ke bukit?”

“setelah aku pulang tentunya. Tapi lebih baik kau besok terlebih dulu ke bukit, aku akan menyusulmu.”

“apa kau besok harus ikut pergi juga? Mengapa kau tak tinggal saja?” tanya Shilla sedikit protes.

“ibuku memaksakku ikut. Aku tidak bisa menolak.”

“lalu kunang-kunang?”

“kan aku sudah bilang, aku akan datang kesana setelah aku kembali. Aku kan sudah berjanji kepadamu untuk menangkap kunang-kunag itu. Percayalah aku akan datang.” Janji Rio dengan yakinnya.

“janji?” Shilla menyodorkan jari kelingkingnya untuk mengikat janji kepada Rio. Rio pun mengaitkan jari kelingkingnya pada jari kelingking Shilla tersebut.

“janji!” Rio tersenyum, begitupun dengan Shilla yang sangat mempercayai janji Rio adalah janji seorang pahlawan.

***

Ternyata esok harinya saat Shilla sudah datang ke bukit dan menunggu Rio hingga menjelang malam, Rio tak juga hadir. Shilla yang penakut, segera pulang ke rumahnya dengan berlinang air mata. Menangis karena ia sendirian. Menangis karena Rio tak datang. Hari selanjutnya, Shilla kembali menunggu. Selalu begitu, hingga hari telah berubah bulan, dan bulan telah berganti tahun. Hingga kini, setelah 10 tahun terlewati. Ia akan pergi ke bukit dengan sejuta harapan dan selalu pulang tanpa membawa kunang-kunangnya. Tapi Shilla tak pernah menyerah. Rio telah berjanji! Itu yang slalu ia pekikkan dalam hatinya.

Shilla menggigit bibir bawahnya. Tangannya pun sedikit bergetar karena usahanya untuk menahan air matanya jangan sampai keluar. Ayo Shilla, jangan kau menangis di depan pembajak ini, batin Shilla. Dan...berhasil! Setidaknya untuk saat ini.

“lalu..untuk apa kau menceritakan hal ini kepadaku? Aku tidak kenal denganmu, kau pun begitu,” Shilla akhirnya bersuara. Setelah semenjak tadi hanya menjadi seorang pendengar setia.

“hmm...anggap saja, karena kau tidak kenal denganku, kemungkinan cerita ini akan menyebar pada orang lain, semakin kecil. Kau kan tidak mengenaliku.” Jawabnya sambil tersenyum.

“mau kan, kau mendengar ceritaku lagi? Aku benar-benar sedang ingin bercerita tentang teman kecilku itu,” ucap pria itu sedikit memelas.

Shilla berpikir sejenak. Ah sudahlah! Ia hanya ingin bercerita. Aku dengarkan saja. Kasihan...tampan tapi tidak punya teman untuk bercerita, batin Shilla. Akhirnya, Shilla menjawab permohonan pria tersebut dengan menganggukkan kepalanya dua kali.

“terima kasih.” Ucapnya tulus.

Shilla kembali mengalihkan pandangannya ke depan, menatap pemandangan yang disuguhkan di hadapannya. Pepohonan yang rindang, dengan beberapa helai dedaunan mati berserakan disekitar pepohonan itu dan matahari yang semakin menepi ke barat. Shilla segera melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, saat merasakan sinar matahari sudah tidak terlalu panas. 16.48. pantas saja, hari sudah sore. Shilla tak menyangka ia sudah cukup lama duduk disini. kembali Shilla melayangkan pandangannya ke depan di susul dengan suara pria tadi yang mulai terdengar.

“dulu...dia pernah memintaku menangkap kunang-kunang di tempat biasa kami bermain...” Shilla tercekat. Tubuhnya mendadak kaku, tak mampu di gerakkan walau hanya sekedar berkedip. Menangkap kunang-kunang?

“saat aku telah berhasil menangkap seekor kunang-kunang untuknya dan meletakkannya ke dalam sebuah botol, kunang-kunag itu malah mati. Jadi aku putuskan untuk melepaskan kunang-kunang itu. Saat akan melepaskannya, kunang-kunang itu kembali hidup dan terbang meninggalkan kami. Teman kecilku itu langsung menangis dan membuat aku kebingungan untuk menghentikan tangisannya. Akhirnya aku berjanji, esok hari aku akan menangkap kembali kunang-kunang itu untuknya,” cerita pria itu dengan panjang lebar.

Shilla masih terpaku. Tak percaya dengan apa yang baru saja di dengarnya. Bagaimana? Bagaimana bisa seperti ini? Dada Shilla kembali bergejolak. Membuat ia merasa ingin kembali menangis.

“tapi esok harinya, saat dimana seharusnya aku menepati janjiku padanya, aku malah pergi. Pergi meninggalkannya. Bukan maksudku juga untuk meninggalkannya. Saat itu aku harus pindah. Aku masih kecil dan tidak tau saat orang tuaku mengajakku pergi, aku tidak akan kembali ke rumahku itu.”

“sebelum pergi, aku sempat berkata kepada teman kecilku itu agar menungguku kembali di tempat biasa kami bermain. Aku berjanji, aku akan menangkapkan kunang-kunang itu. Tapi janji itu belum juga aku penuhi.”

Shilla semakin merasa tertohok mendengar kata demi kata yang keluar dari pria itu. Air mata sudah mengumpul di pelupuk matanya, siap untuk jatuh membasahi bumi. Kenyataan. Benarkah yang di dengarnya ini? Benarkah...kalau pria ini...

“aku ingat, sewaktu kecil ia sering memanggilku Paman Gembul dan aku sendiri memanggilnya...Putri Air. Dan kini, aku datang untuk memenuhi janjiku padanya, menangkap kunang-kunang.”

Kalimat terakhir pria itu sukses membuat setetes air mata jatuh ke pipi Shilla. Kemudian di susul dengan tetes demi tetes lainnya yang mewakilkan setiap perasaan Shilla. Rasa senang, sedih, bahagia, haru, tak menyangka, semua bercampur menjadi satu di dalam hatinya. Isakan Shilla semakin keras. Jadi benar...pria aneh yang duduk di sebelahnya ini adalah Rio? Rionya? Rio teman kecilnya...telah kembali?

Rio yang melihat Shilla yang sedang menangis tak menunggu detik berikutnya untuk membawa gadis itu ke dalam dekapannya. Sesungguhnya, ia tak sanggup bila harus melihat Shilla meneteskan air mata seperti itu. Tapi sebagian dirinya merasa senang. Akhirnya ia bisa bertemu lagi dengan gadis yang hampir setiap hari ada di mimpinya itu.

“maaf...telah membuatmu menunggu...” hanya kata-kata itu yang mampu keluar dari mulut Rio, sambil membelai lembut rambut Shilla yang masih berada di dalam dekapannya. Shilla hanya mengangguk samar dalam pelukan Rio untuk menjawab ucapan Rio utu.

Terima kasih, Tuhan. Kau kembalikan ia untukku.

***

Masih kebisuan yang menyelimuti keduanya semenjak tangis Shilla mereda. Mereka biarkan beberapa menit terlewati begitu saja dan tertinggal di belakang tanpa bisa terulang. Keduanya terlalu sibuk dengan pikiran masing-masing akibat euphoria pertemuan yang baru terjadi. Tanpa mereka sadari, matahari semakin jauh menuju peraduannya.

“kemana saja kau selama ini?” Shilla akhirnya buka suara.

Rio menghela nafas, siap untuk mulai bercerita tentang dirinya selama ini kepada Shilla.

“seperti yang aku bilang tadi, aku pindah rumah. Bukan sekedar pindah rumah ke perum lain, tapi aku pergi meninggalkan kota ini karena ayahku harus pindah dinas ke luar kota.”

“aku tak tau hingga aku tiba dirumah baruku itu. Saat tiba disana, aku langsung terinagt akan janjiku, janji untuk menangkap kunang-kunang untukmu. Janji itu pulalah yang selalu menghantuiku setiap hari, selama 10 tahun ini. Maka dari itu, saat ada kesempatan untuk kembali kesini, aku tidak menyia-nyiakannya.”

Shilla tersenyum kecil. “hanya demi janji itu?” tanyanya.

“bukan. Bukan hanya janjinya. Tapi juga karena kau, Putri iar. Kau tau? Setiap hari bahkan menit kau selalu mampir ke pikiranku, membuatku terkadang seperti orang bodoh.”

“bukannya kau memang bodoh?” tanya Shilla jahil.

“enak saja kau bilang aku bodoh,” protes Rio sedikit manyun.

“oh iya, bagaimana kau bisa tau aku ada disni?”

“aku tadi sudah datang kerumahmu. Kata ibumu, kau pergi ke bukit ini. Dari cerita beliau, aku dengar kau setiap hari datang kesini sendiri dan baru pulang saat menjelang malam. Aku yakin, kau pasti menungguku, kan? Karena janjiku itu?”

“huu...pede sekali kau ini? Aku datang kesini bukan karena ingin menunggumu,” elak shilla.

“lalu kenapa?”

“aku disini hanya...merenung. Bagaimana bisa setiap hari aku mengharapkan seseorang yang dulu meninggalkanku begitu saja untuk segera kembali?”

“maafkan aku,” ucap Rio seraya menggenggam tangan Shilla. Shilla lagi-lagi hanya tersenyum menatap Rio. Melihat setiap lekuk wajah Rio yang masih dapat dilihatnya dalam kegelapan yang mulai menyelimuti. Harus diakuinya, Rio terlihat begitu...tampan dan ia sangat merindukannya. Tapi bagaimana bisa tadi ia tidak menyadari bahwa ini Rio? Shilla menatap Rio lekat-lekat. Ah...pantas saja.

“ayo...” Rio menarik tangan Shilla untuk berdiri. Shilla menatapnya bingung.

“kemana?”

“manangkap kunang-kunang. Kan aku sudah berjanji kepadamu. Saat aku kembali, aku akan menangkap hewan yang pernah menipu kita itu untukmu.”

Shilla dapat melihat dari tempat ia berdiri sekarang cahaya-cahaya kecil yang berterbangan. Kunang-kunang telah hadir seiring semakin gelapnya hari.

“tapi untuk kali ini jangan tertipu lagi.”

“tentu. Aku masih kepikiran, bisa-bisanya dulu kita dibodohi oleh hewan sekecil itu.” Ucap Rio sedikit menyesal.

“ah iya, bagaimana bisa kau sekurus ini sekarang? Aku sampai-sampai tak mengenalimu tadi. Hah, mana bisa aku memanggilmu Paman Gembul lagi,” Shilla berkata pelan saat Rio terlihat mulai mendekati kerumunan kunang-kunang itu dengan mengendap-endap. Shilla sendiri telah memegang botol yang –lagi-lagi- ditemukannya disekitar tempat itu.

“Dapat!” ucap Rio girang. Ia berhasil menangkap seekor kunang-kunang yang saat ini berada dalam kedua telapak tangannya yang ditangkupkan. Kunang-kunang itu segera ia masukkan ke dalam botol yang dipegang Shilla dan menutupnya. Lagi-lagi, kunang-kunang itu berpura-pura mati, cahaya yang berasal dari ekornya menghilang. Tapi untuk kali ini, mereka tidak akan tertipu lagi.

“ayo pulang,” ajak Rio. “sudah malam. Bisa-bisa, aku dikira macam-macam denganmu.”

Rio dan Shilla lantas meninggalkan bukit itu. Berjalan bersama menembus kegelapan malam, ditemani cahaya bulan, bintang dan cahaya yang di hasilkan oleh kunang-kunang tadi yang akhirnya menyerah untuk berpura-pura mati. Ia tidak berhasil menipu Shilla dan Rio untuk kali ini.

“apa kau nanti akan pergi lagi?” tanya Shilla pelan. Ada sedikit getir di dalam hatinya jika membayangkan Rio akan pergi lagi. Rio tersenyum hangat.

“tidak. Aku akan tetap disini, menemanimu, menebus masa-masa yang kau lewati dulu hanya untuk menungguku kembali.”

Tanpa Rio ketahui, Shilla bernafas lega mendengar jawabannya. Rio tak akan pergi lagi.

“oh iya, tadi kau bertanya mengapa aku bisa kurus begini, kan?” Shilla menganggukkan kepalanya semangat.

“rahasiaa....”ucap Rio jahil.

“eugh, kau menyebalkan!”

“terima kasih. Aku anggap itu sebagai pujian.”

“aku sangat tidak menyukaimu.” Shilla sedikit ngambek, tapi ia tidak serius dengan ucapannya ini.

“oh, tak masalah. Setidaknya kau tidak membenciku.” Lagi-lagi Rio menjawab semua ucapan Shilla.

“Rioooo......”

“emang ganteng,” ucap Rio narsis.

Gelak tawa terurai dari bibir keduanya. Tak ada lagi Shilla yang pulang dengan membawa kekecewaan. Shilla kini pulang kerumahnya dengan berjuta kebahagiaan. Tapi tanpa mereka sadari, sebentuk rasa yang lain telah tercipta semenjak saat itu.

Closing Quotes

Menunggu memang sangat melelahkan. Apalagi menunggu sesuatu yang belum jelas kapan hadirnya. Tapi, jangan menyerah pada waktu. Karena waktu tak hanya memberika kesempatan kepada mereka yang bergerak cepat. Tapi juga kepada mereka yang mau bersabar.

Started: 21 Februari 2011

Finished: 24 Februari 2011