Pages

Selasa, 07 Juni 2011

Pertarungan Aku dan Hati

Aku: Ya Allah...apaan ini! Aku sudah segila ini mengerjakannya, yang selesai baru satu? Baru satu dari tujuh tugas?

Hati: Ya dikerjain lah...

Aku: GAK BISA!! Apaan nih?! Aku tidak mengerti dengan tugasnya! Susah!

Hati: Susah bukan berarti tidak bisa, bukan??

Aku: Ya tetap saja! Tugas-tugas ini sudah mengacaukan sistem kerja otakku, menguras habis tenagaku!

Hati: ...

Aku: Huuaaa...aku ingin menangis melihat tumpukan tugas-tugas ini...

Hati: Tugas-tugas ini untuk kau selesaikan, bukan kau tangisi...

Aku: Kau gampang berbicara seperti itu!! Kau tidak tau penderitaanku!

Hati: Heii...aku juga merasakan 'penderitaanmu' itu! Karena aku adalah bagian dari dirimu. Saat dirimu merasa lelah, aku juga akan merasa lelah, bahkan jauh lebih merasa letih...Lagi pula, tugas ini bukan hanya dirimu yang mendapatkannya, kan?? Teman-temanmu juga mendapatkan tugas yang sama 'berat'nya denganmu...

Aku: Memang! Tapi mengapa mereka bisa lebih lancar mengerjakannya?? Sedangkan aku? Aku harus menguras otak dan tenagaku berkali lipat dari pada mereka...

Hati: Karena mereka mau mencoba...

Aku: AKU JUGA MENCOBANYA!!

Hati: ...

Aku: Apa yang salah dengan diriku?

Hati: Sebenarnya tidak ada yang salah denganmu. Hanya saja, kau terlalu menganggap tugas-tugasmu sebagai 'beban'. Cobalah anggap tugasmu ini sebagai hal yang begitu kau senangi. Maka dengan begitu, kau akan jauh lebih menghargainya.

Aku: ...

Hati: Mari ku beri tahu kau satu hal. Seperti halnya lubang kecil di tanah yang dibuat oleh semut. Lubang itu sangat kecil. Bisakah kau melihat semut yang membuatnya? Tidak. Kecuali kau melihatnya dengan amat teliti atau menggunakan alat yang bisa merefleksikan ukuran semut itu menjadi lebih besar. Tapi kita tau, semut itu ada.

Aku: ...

Hati: Begitu halnya dengan dirimu saat ini. Kau menganggap semua tugas-tugasmu ini sulit, tak bisa kau kerjakan. Sadarkah kau bahwa itu semua kau sendiri yang membuatnya?! Kau yang telah men-doktrin dirimu sendiri bahwa tugas ini sulit dan tak akan mampu kau kerjakan. Maka dirimu akan bereaksi terhadap doktrin yang ada pada kepalamu itu. Itu lah semutnya. Semutnya ada disini. Ada di dirimu sendiri...

Aku: Tapi...

Hati: Nah kan? Kau berusaha menyanggahnya?! Itu lah penyebab hancurnya semangat dirimu...Kau tak pernah mengikuti nuranimu. Kau terlalu senang hidup dalam dunia yang telah diciptakan oleh otakmu. Kau tak pernah mampu menghapus doktrin itu...

Aku: ...

***

Itu lah yang selalu terjadi pada diri kita. Kita selalu tidak sadar dengan apa yang nurani kita katakan.Kita sudah terlanjur senang hidup pada dunia yang telah di doktrin oleh otak kita. Padahal kita semua tau, hati kita selalu menuntun kita pada jalan yang benar untuk hidup. Hal sederhana, tapi memiliki pengaruh yang luar biasa...

Patah Hati

Setetes demi setetes air mata alam mulai turun membasahi bumi. Gerimis. Aku harap hujan akan datang. Sungguh suasana seperti ini yang aku harapkan. Aku melirik jam bulat bergambar doraemon yang tergantung pada dinding kamarku. Ah...cepatlah. Aku sangat membutuhkannya.

Tetes-tetes air diluar sana mulai membesar dan akhirnya benar-benar menghujani bumi. Aku mulai melangkah keluar dari kamarku dan menuju ke halaman rumahku. Saat melewati ruang keluarga, aku tidak menemukan siapa-siapa. Sepi. Memang beginilah selalu. Orangtuaku baru pulang bekerja pukul lima sore nanti. Sedangkan kakakku satu-satunya, dia sedang melanjutkan study-nya di luar kota. Jadilah aku lebih sering tinggal sendiri dirumah. Tapi percayalah, aku bukan type anak yang kekurangan kasih sayang orangtua.

Klek!

Aku membuka pintu depan rumahku. Dengan matap aku melangkahkan kakiku keluar rumah. Saat aku berada tepat di halaman rumahku, aku berhenti. Aku memjamkan kedua mataku dan merentangkan tanganku. Aku mencoba menikamati sensasi sejuk yang diberikan olah alam ini. Perlahan-lahan, bersama jutaan tetes air hujan yang mulai membasahi tubuhku, menetes pula air dari kedua mataku yang terpejam. Ya, aku menangis bersama alam. Karena saat ini, untuk pertama kalinya aku merasakan apa yang mereka sebut...patah hati.

Untuk beberapa saat aku bertahan pada posisi seperti ini. Menikmati tetes-tetes air yang menerpa wajahku dan menyamarkan air mataku. Beginilah s'lalu. Setiap kali aku ingin menangis, aku s'lalu menanti datangnya hujan. Karena aku tak tak ingin ada seorang pun yang melihat air mataku. Biarlah orang menganggapku kekanakan, yang masih suka bermain hujan. Tak masalah. Walaupun aku sering tinggal sendiri, tapi aku tetap tidak pernah menangis sendiri di kamarku. Tak ada yang boleh melihat air mataku. Meskipun hanya dinding kamar yang tak pernah tergerak masa.


Aku mulai 'menari' bersama hujan dengan air mata yang tetap mengalir deras dari mataku. Bayang-bayang kejadian tadi siang di sekolah kembali menghampiri. Sewaktu 'ia' datang dengan senyum terkembang di wajahnya setelah hampir setengah jam aku meanantinya di kantin. Pada saat ia berada tepat di hadapanku, ia langsung memlukku erat dan membisikkan kepadaku betapa bahagianya ia. Aku hanya tersenyum bingung dalam pelukannya.

"Aku bahagia! Sangat bahagia! Akhirnya, aku bisa menjadikan Arin sebagai kekasihku! "

Kekasihku! Kekasihku!

Kata itu terus terulang dan menggema di kepalaku. Aku tidak kuat, sungguh tidak kuat menahan siksaan batin ini! Tuhan...mengapa terasa begitu sulit? Selalu seperti inikah orang-orang yang sedang patah hati? Sulit bernapas, rasa sesak tak tertahankan, dan...menyakitkan? Tuhan..bisakah aku bertahan?

Aku jatuh terduduk. Aku ingin menangis sepuasnya. Menangis sepuasnya bersama alam yang sepertinya turut merasakan kehancuran hatiku, Ku harap kepedihan ini dapat tersapukan bersama setiap aliran air yang jatuh dari tubuhku. Walaupun...itu sangat tidak mungkin...


Ujung Pelangi

7 Juni 2011

Setetes demi setetes air mata alam mulai turun membasahi bumi. Gerimis. Aku harap hujan akan datang. Sungguh suasana seperti ini yang aku harapkan. Aku melirik jam bulat bergambar doraemon yang tergantung pada dinding kamarku. Ah...cepatlah. Aku sangat membutuhkannya.

Tetes-tetes air diluar sana mulai membesar dan akhirnya benar-benar menghujani bumi. Aku mulai melangkah keluar dari kamarku dan menuju ke halaman rumahku. Saat melewati ruang keluarga, aku tidak menemukan siapa-siapa. Sepi. Memang beginilah selalu. Orangtuaku baru pulang bekerja pukul lima sore nanti. Sedangkan kakakku satu-satunya, dia sedang melanjutkan study-nya di luar kota. Jadilah aku lebih sering tinggal sendiri dirumah. Tapi percayalah, aku bukan type anak yang kekurangan kasih sayang orangtua.

Klek!

Aku membuka pintu depan rumahku. Dengan matap aku melangkahkan kakiku keluar rumah. Saat aku berada tepat di halaman rumahku, aku berhenti. Aku memjamkan kedua mataku dan merentangkan tanganku. Aku mencoba menikamati sensasi sejuk yang diberikan olah alam ini. Perlahan-lahan, bersama jutaan tetes air hujan yang mulai membasahi tubuhku, menetes pula air dari kedua mataku yang terpejam. Ya, aku menangis bersama alam. Karena saat ini, untuk pertama kalinya aku merasakan apa yang mereka sebut...patah hati.

Untuk beberapa saat aku bertahan pada posisi seperti ini. Menikmati tetes-tetes air yang menerpa wajahku dan menyamarkan air mataku. Beginilah s'lalu. Setiap kali aku ingin menangis, aku s'lalu menanti datangnya hujan. Karena aku tak tak ingin ada seorang pun yang melihat air mataku. Biarlah orang menganggapku kekanakan, yang masih suka bermain hujan. Tak masalah. Walaupun aku sering tinggal sendiri, tapi aku tetap tidak pernah menangis sendiri di kamarku. Tak ada yang boleh melihat air mataku. Meskipun hanya dinding kamar yang tak pernah tergerak masa.


Aku mulai 'menari' bersama hujan dengan air mata yang tetap mengalir deras dari mataku. Bayang-bayang kejadian tadi siang di sekolah kembali menghampiri. Sewaktu 'ia' datang dengan senyum terkembang di wajahnya setelah hampir setengah jam aku meanantinya di kantin. Pada saat ia berada tepat di hadapanku, ia langsung memlukku erat dan membisikkan kepadaku betapa bahagianya ia. Aku hanya tersenyum bingung dalam pelukannya.

"Aku bahagia! Sangat bahagia! Akhirnya, aku bisa menjadikan Arin sebagai kekasihku! "

Kekasihku! Kekasihku!

Kata itu terus terulang dan menggema di kepalaku. Aku tidak kuat, sungguh tidak kuat menahan siksaan batin ini! Tuhan...mengapa terasa begitu sulit? Selalu seperti inikah orang-orang yang sedang patah hati? Sulit bernapas, rasa sesak tak tertahankan, dan...menyakitkan? Tuhan..bisakah aku bertahan?

Aku jatuh terduduk. Aku ingin menangis sepuasnya. Menangis sepuasnya bersama alam yang sepertinya turut merasakan kehancuran hatiku, Ku harap kepedihan ini dapat tersapukan bersama setiap aliran air yang jatuh dari tubuhku. Walaupun...itu sangat tidak mungkin...


Ujung Pelangi

7 Juni 2011