Pages

Jumat, 18 Februari 2011

1001 Kisah antara Aku, Kamu, Kita dan Mereka

Title: 1001 Kisah antara Aku, Kamu, Kita dan Mereka

Pairing: Cakka x Agni

Warnings: lebay, pergantian waktunya kurang jelas, dsb.

Genre: Romance/Drama

Summary: “Sepenggal Kisah dari Sebuah Masa.” Gabriel menatapku seolah tak percaya. Aku balas menatapnya dengan tersenyum.

Inilah awal sepenggal kisah itu di mulai. Hanya sepenggal, tapi begitu membekas. Kisah tentang masa-masa yang tak mungkin terulang...”

***

Sudah hampir sejam aku membersihkan rumahku ini. Jadwal deadline di kantor beberapa hari lalu membuat aku sedikit mengabaikan kebersihan di rumah. Oh iya, perkenalkan nama aku Agni Nubuwati, biasa disapa Agni. Aku seorang GM disebuah perusahaan properti. Boleh dibilang kehidupanku saat ini di atas rata-rata.

Walaupun sudah memiliki posisi yang cukup bagus, untuk urusan rumah aku lebih senang melakukannya sendiri. Karena itu, sampai saat ini aku tidak pernah menyewa pembantu. Aku masih bisa mengatur antara urusan rumah dan urusan kantor. Yah, walaupun terkadang sering membuatku kerepotan sendiri.

Sekarang aku berada di gudang rumah. Beginilah aku. Aku akan melakukan pembersihan besar-besaran jika sudah cukup lama tidak bersih-bersih. Termasuk gudang ini, juga akan aku bersihkan. Walaupun aku akui, aku sendiri pun bingung akan memulai dari mana. Gudang ini jarang aku sentuh saat sedang bersih-bersih biasa.

“baiklah, mari kita mulai”

Aku mulai membersihkan tiap sudut gudang yang –untungnya- tidak terlalu besar ini. Beberapa tumpukan kardus yang berserakan kembali aku susun, lantainya pun aku sapu bersih. Sebenarnya, ada kesenangan tersendiri bagi diriku sewaktu membersihkan gudang. Biasanya aku akan mendapatkan ‘kejutan’ yang tak terduga dari sini.

Ha, baru saja aku mengatakannya, mataku sudah menangkap sebuah pajangan berbentuk bebek. Aku mengambil pajangan itu. Aku ingat, bebek ini aku buat saat aku masih SMA dulu. Waktu itu aku sedang membersihkan kamarku dan aku menemukan sebuah kalender tahun sebelumnya. Rasanya sayang jika harus membuangnya. Tapi jika menyimpannya, itu hanya akan memenuhi tumpukan kertas dikamarku saja.

Akhirnya, aku menyulap kalender bekas itu menjadi sebuah pajangan berbentuk bebek. Ah, aku sudah bisa menambahkan pernak-pernik dari kertas di kamarku tanpa perlu mengeluarkan uang untuk membeli kertas origami.

Aku tersenyum. Pajangan ini masih bagus, sepertinya bisa aku letakkan di atas meja kerjaku di kantor.

Aku melanjutkan acara bersih-bersihku. Kali ini aku menuju lemari di dalam gudang ini. Lemari ini sengaja di letakkan disini untuk buku-bukuku yang sudah lama. Biasanya buku-buku ini masih sering aku gunakan untuk bahan referensiku. Lihatlah, lemari ini sepertinya sudah sangat lama tidak aku bereskan. Buku-bukunya sudah tidak beraturan lagi. Kapan terakhir kali aku membereskannya, ya??

Aku mulai membongkar ulang buku-buku disini. Kebanyakan buku saat aku SMA dan kuliah dulu. Fyuh, banyak debunya. Aku sedikit terbatuk dibuatnya. Aku mengambil kain dan mulai merapikan lemari ini. Buku-bukunya pun aku lap. Biar tetap terlihat bagus, walaupun sudah lama. Setelah bersih, aku kembali meletakkan buku-buku itu ke dalam lemari.

Hah, ini baru satu rak paling bawah yang aku selesaikan, masih ada sekitar tiga rak lagi keatas. Tak masalah, memang keinginanku kan membersihkan seluruhnya??

Lanjut ke rak nomor dua. Ritualnya masih sama seperti sebelumnya. Membongkar ulang seluruh isinya, membersihkan lemari serta buku-bukunya dan menyimpan kembali ke dalam lemari. Hal yang sama juga aku lakukan pada rak ketiga dan keempat.

Selesai!!

Eit, tunggu dulu. Aku baru sadar, lemari bagian atas belum aku bersihkan. Sepertinya aku harus mencari tumpuan, karena bagian itu cukup tinggi. Aku keluar sebentar mengambil kursi untuk aku jadikan tumpuanku.

Aku menghela napas. Ternyata ada acara manjat-memanjat segala. Aku sebenarnya agak malas jika harus seperti ini. Yah, tapi nggak mungkin kan bagian atas itu tidak aku bersihkan??

Ada lumayan banyak barang disini. Beberapa buku –yang tidak aku ketahui buku apa- dan ada juga kotak-kotak lama –yang entah apa isinya-. Aku menarik sebuah kotak dan yang entah mengapa saat menariknya aku turut meniup kencang debu yang menutupi kotak tersebut.

Sontak debu-debu itu berterbangan hingga mengaburkan penglihatanku. Aku yang tak siap dengan keadaan itu, malah memukul barang-barang yang ada disana dengan kotak yang sudah aku tarik tadi hingga membuatnya berjatuhan kelantai.

Aku turun dari kursi itu untuk menormalkan kembali penglihatanku. Dasar bodoh!! Kenapa aku malah meniup debunya?! Setelah penglihatanku kembali normal, aku membereskan barang-barang yang tadi berjatuhan. Ah, sekalian saja aku membersihkan barang-barang ini.

Nah, selesai juga. Kali ini sudah semua sudut gudang ini yang aku bereskan. Aku sekarang sudah bisa bersantai. Aku keluar dari gudang ini. Tapi, baru beberapa langkah dari lemari tadi, aku melihat sebuah buku berwarna ungu –yang merupakan warna favoritku- tergeletak di lantai. Buku apa itu? Aku segera mengambilnya.

Ternyata bukan buku, tapi sebuah album foto. Aku mulai memutar kembali ingatanku tentang album foto ini. Tak begitu jelas, tapi aku masih dapat menangkap siluet-siluet yang berkejaran di kepalaku. Album ini adalah album saat aku SMA. Benarkan, aku mendapat kejutan lagi dari gudang ini?!

Aku melangkah menuju kursi yang tadi aku gunakan untuk tumpuan. Aku duduk disana dan mulai membuka lembaran album kenangan itu. Dihalaman depan album ini tertulis ‘Sepenggal Kisah dari Sebuah Masa’ dengan tulisan yang dibuat unik, sedikit meliuk, dan diberi hiasan kecil di beberapa sisinya.

Aku ingat, tulisan ini dibuat oleh salah seorang temanku, Gabriel. Saat itu kami masih duduk di bangku kelas 1 SMA. Dulu aku memaksa dia habis-habisan untuk membuatkan aku tulisan ini disini. Soalnya aku sangat menyukai kelihaian ia mengukir huruf demi huruf hingga tampak tak biasa.

***

“Gabriel!!” panggilku.

“ngapa lagi sih, Ag? Mau minta tolong buatin tulisan itu lagi?” tebak Gabriel yang sangat tepat sasaran.

Aku menanggapinya dengan cengiran. Ini sudah yang kesekian kalinya aku meminta tolong pada Gabriel untuk menulis di halaman depan album fotoku.

“haha...nyengir aja lo! Jelek tauk! Gue mau aja buatin, tapi berani bayar berapa lo?” ucap Gabriel yang sukses membuat aku menekukkan mukaku.

“yah, Gab. Sama temen sendiri lo perhitungan. Cuma nulis doank juga...”

“tapi punya daya seni yang tinggi. Liat aja tuh lukisan-lukisan abstrak seperti punyanya Van Gohg, kagak ade bentuknya tapi kalau dijual mahal!”

“ya elah, kenapa jadi bawa-bawa Van Gohg sih? Sama temen sendiri juga”

“sorry Ag. Temen sih temen. Tapi kalau udah gini, lain lagi urusannya.” Huh! Dasar Gabriel perhitungan. Sekarang dia malah ninggalin aku gitu aja. Oke, liat aja entar Gab. Aku recokin terus kamu sampai mau tolongin aku. Aku tersenyum dan kembali ke dalam kelasku. Lihat saja, bukan Agni namanya kalau nyerah gitu aja.

***

Ah, aku jadi tertawa sendiri mengingat kejadian itu. Setelah hari itu, hampir setiap saat aku mencari Gabriel agar mau menolongku. Di kelas, di rumah, saat les, saat dia latihan basket, dimana saja, setiap kali ketemu selalu aku sodorkan album fotoku itu. Sampai akhirnya dia menyerah dan mau menolongku tanpa bayaran.

***

“ya udah, mana album fotonya!” ucap Gabriel akhirnya menyerah.

Dengan semangat aku sodorkan album fotoku sedangkan Gabriel sendiri segera mengeluarkan alat tulisnya. Ada banyak spidol warna-warni yang dikeluarkannya. Waw, aku cukup takjub juga melihat spidol beraneka warna itu.

“mau buat apaan nih?” tanya Gabriel.

“hmmm.....apa ya? Bagusnya apa Gab?”

“ya elah, gue kira lo maksa-maksa gue dari kemaren lo udah tau mau buat apaan.”

“hehe...yang penting kan bagi gue dapet restu lo dulu”

“restu...lo kira apaan?! Udah, mau bikin apa nih?”

Aku mulai memutar otakku. Apa bagusnya ya?

“ha, gue tau!” ucapku kemudian.

“apaan? Pasti kata-katanya jelek, sama kayak orangnya.” Aku menoyor kepala Gabriel. Enak saja di ngatain aku jelek. Orang cantik gini juga.

“Sepenggal Kisah dari Sebuah Masa.” Gabriel menatapku seolah tak percaya. Aku balas menatapnya dengan tersenyum.

“ayo buat” suruhku. Gabriel lantas tersenyum kemudian mulai memainkan jari-jarinya diatas album foto itu.

Inilah awal sepenggal kisah itu di mulai. Hanya sepenggal, tapi begitu membekas. Kisah tentang masa-masa yang tak mungkin terulang...

***

Aku membalikkan halaman selanjutnya. Ada beberapa foto disini, kebanyakan fotoku dengan teman-teman sekelas. Ada berbagai macam pose, mulai dari yang terkesan formal, sedang tertawa bersama bahkan dengan pose jelek sekalipun ada. Memang aku dan teman-temanku selalu narsis kalau sudah berjumpa dengan kamera.

***

Ify, teman sebangkuku sedang sibuk dengan handphonenya. Membosankan! Satu kata itu yang saat ini ada dibenakku. Bagaimana tidak, di jam kosong –karena guru kami berhalangan hadir- seperti ini, teman-temanku malah sibuk dengan dunianya sendiri. Sedangkan aku? Aku butuh kehebohan.

Hah, baiklah. Dari pada terus-terusan larut dalam kebosanan ini, akhirnya aku mengelurkan handphone dari saku bajuku. Aku membuka aplikasi kamera dan memulai kenarsisanku. Satu, dua, tiga, empat...yak, masa bodoh dengan yang lainnya. Narsis tetap harus jalan.

Ify yang melihat aku yang sedang foto-foto, jadi ikutan dan melupakan handphone yang sedari tadi telah mencuri perhatiannya. Baru saja dua foto yang kami ambil, Gabriel malah nimbrung dan minta di foto juga. Pada akhirnya...

“Ag, hp lo ada timernya, kan? Di timer-in aja. Biar bisa foto semua” Ify memberikan saran. Ya, kali ini sekelas malah ikut foto bareng. Padahal hampir semua temanku handphone mereka sudah dilengkapi fitur kamera. Kenapa malah ngebet pake hp aku?

“oh, ya udah. Pada ngambil posisi dah lo semua.” Aku maju ke depan kelas dan mulai mengatur posisi teman-temanku agar bisa masuk semua. Setelah semua pas, dan menemukan posisi untuk aku sendiri, aku mulai mengatur timernya.

“10 detik ya...” aku memberi tahu mereka dan segera menuju posisiku. Timer mulai berjalan, dengan bunyi ‘tiitt’ yang awalnya dengan ritme pelan hingga akhirnya semakin cepat...

Klik!

Satu kenangan lagi telah terukir...

***

Ah, aku jadi kangen dengan mereka. Sudah lama aku tidak bertemu dengan mereka. Kira-kira masih sama seperti dulu kah mereka? Masih suka narsiskah kalau bertemu kamera? Haha. Selama ini aku berhubungan dengan mereka hanya dari facebook, twitter, dan chating. Aku ingin melihat wajah mereka lagi, aku ingin bertemu mereka.

Aku membuka lagi lembar selanjutnya. Ada foto kami sedang makan-makan di kelas, tapi makanan itu bukan berada di atas meja. Melainkan di dalam laci meja kami. Hmm...kapan ini?

Otakku mulai menjelajahi lorong-lorong waktu, mencari cerita dari foto ini. Akhirnya, pencarianku terhenti di kelas ku dulu, siang hari, saat pelajaran biologi oleh Pak Sucipto. Si bapak menerangkan di depan, sedangkan kami makan bareng di belakang.

***

“hoaammm...ngantuk” ucap Ify padaku. Saat ini kami sedang istirahat. Hari Selasa memang hari yang melelahkan. Empat jam pertama tadi diisi oleh pelajaran mtk dan fisika. Setelah istirahat ini, kami masih harus bertemu dengan pelajaran biologi selama tiga jam. Hah, resiko anak IPA. Siang hari harus diisi dengan perkenalan organ tubuh manusia, jenis-jenis tulang, bentuknya, dan nama-nama ‘ajaib’ yang dimilikinya setelah sebelumnya memeras otak habis-habisan dengan pelajaran hitung-hitungan itu. Menyebalkan! Guru yang menyusun jadwal pelajaran ini tidak ada toleransi sama sekali dengan kemampuan otak kami!

“iya Fy, gue juga ngantuk. Hah, membayangkan akan melewati pelajaran biologi entar udah bikin gue puyeng. Mana si bapak orangnya antengan lagi.”

“udah deh, kantin dulu yuk. Gue laper, entar keburu masuk lagi. Kita udah kelewat lama mendep di sini.” Ajak Ify.

Aku dan Ify beranjak ke kantin. Beberapa teman sekelas ku juga turut ke kantin. Saat berjalan keluar kelas, aku memperhatikan seisi kelasku. Hampir seluruhnya, tidak ada yang beranjak untuk istirahat. Pasti otak mereka sudah sangat letih, sehingga untuk ke kantinpun mereka udah klengeran.

“Ag, nitip donk” pinta temanku, Sivia.

“ha? Nitip apaan Vi?” tanyaku.

“apa aja dah, yang penting perut gue keisi”

“oh, oke”

“Fy, nitip juga donk. Buat gue, Riko, dengan Bastian” Kali ini Alvin.

“nitip apaan?” tanya Ify.

“terserah lo aja. Oh iya, sekalian minumnya.” Hah, lagi-lagi terserah.

“minumnya terserah juga?” tanya Ify.

“iya, terserah lo aja dah. Gue ngikut”

“air got mau?” tanyaku.

“ya gak segitunya juga kali Ag.”

Setelah sesi pesan memesan selesai, aku dan Ify segera menuju kantin. Takutnya, bel masuk keburu bunyi. Saat di kantin, aku dan Ify memilih secara acak makanan yang di titipi oleh Sivia dan Alvin. Gorengan, chiki, siomay, serta air mineral menjadi pilihan kami untuk mereka dan tentunya untuk kami sendiri.

“yuk Ag, bel bentar lagi bunyi.”

Aku mengangguk. Ya, lantaran telat keluar dari kelas tadi, sekarang kami harus berkejar-kejaran dengan waktu agar tetap bisa memenuhi tuntutan perut kami yang sudah bergerilya sejak tadi. Kami berlari-lari kecil menuju kelas. Saat tiba tepat di depan kelas...

Teettt...teett...teettt....

Kan, sudah ku bilang, suara yang dapat menghancurkan kami itu sudah berbunyi, bahkan sebelum perut kami terisi sedikitttt...saja. Aku dan Ify segera memasuki kelas dan memberikan pesanan Sivia serta Alvin.

“yah, udah bel nih. Perut gue laper, minta diisi.” Keluh Ify.

“makan dulu aja Fy. Pak Cipto juga belum datang.” Aku menyarankan kepada Ify.

“eh, Pak Cipto udah datang tuh.” Hah, memang dasar sial. Baru saja aku mengatakannya, Aren malah meneriaki bahwa pak Sucipto sudah datang. Waduh, cacing-cacing diperutku langsung melakukan pemberontakan.

“selamat siang, anak-anak.” Sapa Pak Sucipto saat sudah memasuki kelas dan duduk di bangkunya.

“siang Pak...” jawab kami serempak.

“baiklah, kita langsung lanjutkan saja pelajaran kita yang kemarin.” Pak Sucipto mulai menerangkan, sedangkan perutku terus mendendangkan lagu kroncong.

Setengah jam kemudian, Pak Sucipto mulai asik dengan dunianya dan papan tulis. Beliau tampak sedang menggambar –entah apa- di papan tulis itu. Aku tak bisa menangkap kata-katanya. Karena otakku belum mendapatkan asupan energi tambahan. Tiba-tiba aku merasakan colekan di bahuku. Ternyata Ify. Aku menatapnya dengan pandangan bertanya.

“makan yuk. Mumpung bapaknya lagi nggak lihat.” Hasut Ify kepadaku.

“nggak ah, entar ketahuan. Kena marah kita lagi.” Tolakku. Ah, ternyata otakku masih bisa berpikir dengan benar.

“nggak akan. Lihat tuh.” Ify menunjuk ke arah tempat duduk Alvin dan teman-teman cowokku yang tidak jauh dari tempat dudukku dan Ify. Mereka tampak asik menikmati makanan yang tadi kami beli.

“ayo lah, Ag” bujuk Ify sekali lagi.

Imanku mulai goyah. Akhirnya, karena Ify yang terus menerus menghasutku dan perutku yang tidak bisa lagi diajak kompromi, aku menuruti kata-kata Ify. Kami membuka makanan yang tadi kami beli, dan meletakkannya di laci meja. Untung Pak Sucipto masih sibuk dengan papannya, kami bisa jadi sedikit bebas.

“pssttt...pssttt...foto...” pinta Ify pada Aren yang duduk dibelakang kami sambil memberikan handphonenya. Aren mengambil handphone Ify, satu...dua..tiga...

Klik!

Kenakalan masa remaja, yang selalu menghadirkan tawa kala mengenangnya...

***

Ya, sejak saat itu, setiap hari Selasa, pada saat istirahat, kami sudah menyediakan stok makanan dalam laci kami untuk pelajaran biologi. Sebenarnya kami bisa saja makan saat jam istirahat. Tapi kami lebih memilih makan di kelas, karena saat makan, kami mendapatkan tantangan. Harus berpacu dengan waktu, kecepatan tangan yang tinggi, mengunyah harus ekstra cepat dan tetap memastikan tidak terlihat oleh Pak Sucipto.

Aku melihat foto lainnya yang masih terdapat di halaman itu. Ada foto seorang laki-laki yang sedang tertidur dengan meletakkan kepalanya diatas tangan yang dilipat diatas meja. Aha, tak terlalu sulit bagiku mengingatnya. Karena dia adalah temanku yang paling sering tidur dikelas. Walaupun begitu, dia adalah ‘Einstein’ kebanggaan kelas bahkan sekolah.

***

Siang hari ini begitu panas. Aku sebenarnya sangat malas mau belajar siang hari gini. Panas, ngantuk. Sangat tidak efektif menurutku. Karena percuma saja guru menerangkan, sedangkan pikiran siswa sudah melayang menuju kasur dan bantal dirumah. Kalau bukan karena saat ini yang mengajar Buk Nanik, aku pasti sudah merebahkan kepalaku di atas meja. Siapa sih yang tidak mengenal guru yang sangat galak –namun baik hati- itu?

“hooaammm....” aku menguap tertahan. Kalau ketahuan Buk Nanik aku menguap, bisa gawat urusannya. Hah, mataku sudah kurang dari 5 watt. Ingin rasanya aku menopang mataku ini dengan korek api agar tetap terbuka. Tapi mana mungkin? Hal seperti itu hanya aku lihat di salah satu episode Tom and Jerry. Bisa-bisa mataku ketusuk korek api kalau nekat juga. Kalau ketusuk, entar mata aku rusak donk. Kalau mata aku rusak, nggak bisa liat donk, jelek entar akunya. Masa’ entar tersiar kabar, seorang Agni Nubuwati matanya rusak karena tertusuk korek api. Heu, nggak banget beritanya. Eh, kok aku malah jadi ngelantur gini?

Aku menggunakan tangan kananku sebagai tumpuan kepalaku agar tetap tegak, sedangkan tangan kiriku aku biarkan tetap diatas meja. Hmm...tangan kiriku ini sedikit geli. Sepertinya ada semut yang merayap disana. Aku mengusap tangan kiriku untuk mengusir semut itu tanpa melihat sama sekali. Sekali lagi, karena aku sudah sangat mengantuk.

Eh, kenapa masih geli juga? Dasar semut bandel!

Aku langsung menatap geram kearah tangan kiriku. Tidak ada apa-apa. Terus, tadi itu apa?

Tanganku kembali terasa geli. Kali ini aku dapat menangkap ada jari yang mencolek tangan kiriku. Ternyata itu Ify. Aku menatap Ify dengan sisa-sisa kekuatan mataku. Ify langsung menunjuk ke arah belakang dengan dagunya. Aku mengikuti arah yang ditunjuk Ify. Disana, di tempat duduk nomor dua dari belakang, dapat kulihat, Cakka sedang berwisata ke alam mimpi. Sedangkan Septian yang duduk disampingnya tampak berusaha mengembalikannya ke alam sadar tanpa diketahui Buk Nanik.

Mataku yang semula redup, mendadak mendapatkan pasokan energi dadakan. Aku terbelalak, tak dapat mempercayai apa yang kulihat. Cari masalah ini anak! Menguap saja, mesti lihat situasi dulu. Ini dia malah tidur. Dalam hati, aku hanya bisa berharap, semoga Buk Nanik tidak mengetahui hal ini.

Tapi sepertinya harapanku tak terkabul. Sekarang tampak Buk Nanik berdiri didepan kelas dengan muka galaknya menatap Cakka. Septian yang sepertinya juga menyadari hal itu, mulai memasang tampang ‘saya tidak tahu, Buk’ dan merapikan posisi duduknya.

“Cakka!!” ucap Buk Nanik lantang sambil memukul meja Cakka.

“siap! Ada apa Buk?” tanya Cakka yang langsung terbangun dari alam mimpinya. Reaksi Cakka itu mengundang kehebohan sekelas. Tapi kami tetap berusaha menahan suara kami. Bisa-bisa Buk Nanik semakin sewot.

“ada apa lagi kamu tanya! Kamu sudah seenaknya tidur di jam pelajaran saya. Saya tidak masalah kalau kamu tidur dikelas. Tapi kamu mengacaukan konsentrasi teman-temanmu yang sudah panas kepalanya dan juga konsentrasi saya dengan dengkuranmu itu!” ucap Buk Nanik panjang lebar.

“yah, Buk. Saya kan ngantuk, makanya saya tidur. Dan saya tidak tahu saat tidur saya mendengkur. Kalau saya tahu, sudah pasti saya hentikan dengkuran saya.” Jawab Cakka dengan cueknya.

Oh, Tuhan...aku memukul jidatku. Tak hanya aku yang melakukan hal ini. Hampir sekelas reaksinya sama denganku saat mendengar jawaban Cakka. Dasar bego! Bisa-bisanya dia ngomong seperti itu. Memancing kemarahan Buk Nanik saja.

Sedangkan Buk Nanik sendiri, mukanya sudah merah padam menahan amarah. Entah apa yang dirasakan oleh Buk Nanik saat itu. Siswanya sendiri menanggapi kemarahannya seperti itu. Mungkin ada rasa malu juga disana.

“baiklah, kalau begitu silahkan kamu melanjutkan tidurmu.” Ucap Buk Nanik pelan. Sepertinya sudah bisa mengendalikan amarahnya. Tapi, reaksi berbeda kami semua tunjukkan. Kami hanya memandang cengo kepada Buk Nanik. Apa? Membiarkan Cakka melanjutkan tidurnya? Kalau gitu udah dari tadi kami tidur.

Buk Nanik kembali ke mejanya. Saat sudah duduk di mejanya, Buk Nanik kembali bicara.

“hmm..Cakka. Sebelum kamu tidur lagi, bisakah ibu minta tolong?”

“minta tolong apa bu?” tanya Cakka.

“tolong tutup pintu kelas dari luar ya.”

“baik Bu.” Ucap Cakka. Ia kemudian beranjak menuju pintu kelas. Huh, menurutku ada yang aneh dengan kata-kata Buk Nanik tadi. Cakka menutup pintu kelas, saat akan berbalik lagi ke mejanya...

“hmm...Cakka. Sepertinya kamu kurang mendengarkan instruksi ibu tadi. Tolong tutup pintunya DARI LUAR. Kenapa kamu nutup pintunya dari dalam?” ucap Buk Nanik dengan santainya.

Ah, akhirnya aku tau, apa yang salah dari kata-kata Buk Nanik tadi. Tutup pintu dari luar. Sama saja Buk Nanik mengusir Cakka secara halus. Lagi-lagi kami hanya bisa menahan tawa saat melihat reaksi Cakka yang cengo memandang Buk Nanik. Cakka tak bisa berkata apa-apa lagi. Dia kemudian melangkah keluar kelas, dan menutup pintunya dari luar.

“ada yang mau mengikuti jejak Cakka?” tanya Buk Nanik tiba-tiba saat kami masih terpaku melihat Cakka keluar kelas. Semua siswa langsung mengalihkan perhatian kepada Buk Nanik lagi. Kalau Cakka yang keluar kelas, tak masalah. Toh dia masih bisa belajar sendiri.

Bahkan seorang jenius pun sering membuat ulah...

***

Haha...si jenius yang selalu membuat ulah. Aku melanjutkan nostalgiaku. Di halaman selanjutnya, aku mendapati beberapa foto –lagi- yang di dalamnya kami terlihat sedang bersih-bersih. Ada yang menyapu, memberishkan jendela, ada yang sedang memanjat menggunakan kursi untuk memasang gambar Burung Garuda serta foto presiden dan wakilnya, dan ada juga yang sedang membersihkan taman-taman kecil didepan kelas kami. Ini pasti saat kami sedang gotong royong memberihkan kelas. Biasanya setiap bulan sekolahku selalu mengadakan lomba kebersihan kelas. Kelas terbersih akan mendapatkan hadiah dari sekolah.

***

“teman-teman, entar sore pada datang kesini ya. Kita lakukan pembersihan dan penataan kelas. Soalnya, mulai Sabtu besok penilaian lomba kebersihan kelas udah dimulai dan minggu depan pengumuman yang menang. Nggak mau donk kelas kita kalah?! Makanya entar sore kita bersih-bersih.” ucap Riko, ketua kelas kami.

“Oh iya, jangan lupa bawa peralatan kalian ya. Terserah apa aja, yang penting bisa buat bersih-bersih. Jam 2, sehabis jumatan, udah pada ngumpul. Dan Agni, bawa konsumsi ya.” Pinta Riko padaku.

“sip”

Ya, posisiku sebagai bendahara kelas sering membuatku merangkap menjadi seksi konsumsi jika sudah ada kegiatan seperti ini. Teman-temanku akan semakin bersemangat bekerja jika ada konsumsinya. Tak perlu yang mahal, bahkan gorengan pun akan mereka terima dengan senang hati.

Sore harinya –walaupun sekarang belum bisa disebut sore-, satu kelas sudah berkumpul. Semua mulai mengambil posisinya. Ada yang mengurusi taman, membersihkan jendela yang berdebu dan sebagainya. Aku sendiri mulai menyiapkan konsumsi. Air mineral sekardus aku letakkan di tengah kelas. Sedangkan makanannya, aku simpan dahulu. Nanti saja saat semua sedang istirahat. Kalau sekarang aku keluarkan, bisa-bisa makanannya tidak bersih lagi terkena debu.

“Vin, lo naik pakai kursi. Trus lepasin dulu tuh gambar garuda ama foto presiden, biar dibersihin.” suruh Riko pada Alvin.

“sip. Lo pegangin kursinya.” Alvin mulai menaiki kursi yang sudah di letakkan di atas meja sedangkan Riko menjaga kursinya agar tidak goyang. Dia melepaskan gambar-gambar itu dan memberikan kepada Gabriel yang sudah menunggu di bawah.

Gambar yang sudah diturunkan itu diserahkan kepada anak perempuan, ada Osa dan Aren disana. Osa dan Aren membersihkan bingkai dan kaca gambar itu hingga terlihat mengkilap. Setelah selesai, mereka memberikan gambar itu kembali pada Gabriel.

“Vin, lo naik lagi deh. Pasang lagi nih gambar.”

Alvin kembali menaiki kursi itu dan memasang gambar yang sudah pasti ada disetiap kelas itu. Aku yang melihat hal itu langsung mendapatkan ide.

“Vin, lihat sini deh. Gue foto.” Ucapku.

Alvin yang sedang meletakkan gambar itu pada tempatnya melongokkan wajahnya menghadapku yang sudah siap dengan kamera dibawah. Satu...dua..tiga...

Klik!

“yah, Ag. Masa’ Alvin doank, kita kan juga mau” ucap Gabriel. Aku tersenyum. Lantas mengarahkan kameraku kepadanya. Satu...dua..tiga...

Klik!

“Ag, yang lain juga donk...” aku hanya tersenyum menanggapi celotehan mereka. Aku mulai sibuk menggambil foto-foto mereka saat sedang bekerja itu. Sesekali aku juga meminta salah satu dari mereka mengambil fotoku. Haha...sungguh menyenagkan.

Kebahagiaan akan dapat terasa, sekalipun pada saat-saat yang sangat menguras tenaga...

***

Kembali aku tersenyum. Sore hari itu aku lebih banyak menjadi seorang fotografer ketimbang bekerja. Itu semua karena permintaan mereka. Padahal sudah berulang kali aku menolaknya. Dan...yah. Pada akhirnya kami bisa mendapatkan gelar juara sebagai kelas terbersih. Walaupun kami baru mendapatkannya pada bulan keempat.

Pada halaman selanjutnya, aku menemukan fotoku dengan seorang laki-laki. Dengan gayanya yang sedikit slengean -tapi juga terlihat pintar-, muka sedikit tembem dan yang pastinya lebih tinggi dariku. Dia adalah Cakka, pacarku saat SMA. Ya, Cakka. Si jenius yang selalu membuat ulah. Tiba-tiba aku merasa pipiku memanas. Pasti saat ini mukaku terlihat merah.

Perlu kau tahu, Cakka adalah cinta pertamaku, sekaligus pacar pertamaku. Awal mula aku menyukainya ialah saat aku baru mendaftar disekolah ini. Saat itu pengumuman siswa yang diterima.

***

Sebenarnya sudah dari tiga hari yang lalu pengumuman siswa yang diterima diberikan. Karena aku malas, aku baru melihatnya pada hari keempat. Yah, sebenarnya aku juga sudah mendengar kabar dari teman SMP ku dulu bahwa aku diterima. Sekarang aku hanya iseng pengen lihat-lihat.

Saat ini aku sedang berada di papan pengumuman, hanya sendiri. Aku lihat, lumayan banyak teman SMP ku dulu yang juga diterima disini. Nama-nama siswa yang diterima diurutkan berdasarkan nilai mereka yang sudah diolah pada saat tes masuk dan nem mereka. Yang berada diposisi pertama sepertinya seorang laki-laki. Namanya Cakka Nuraga dari SMP 22. Waw, hebat. Menjadi yang pertama dari ribuan siswa yang mendaftar di SMA ini. Siapa sih cowok ini? Pasti sangat bangga. Aku sendiri berada di posis kedelapan sudah sanngat bangga. Apalagi dia. Itulah yang ada dipikiranku saat ini.

Tidak lama kemudian, seseorang juga ikut berdiri di dekatku melihat papan pengumuman ini. Seorang laki-laki. Aku melihat laki-laki itu sekilas. Hanya sekilas, tapi mampu membuat aku tersipu. Padahal laki-laki itu tidak sedang melihatku. Kenapa aku ini? Segera ku alihkan pandanganku.

“daftar disini juga?” tanya seseorang. Aku lihat, laki-laki yang sudah membuatku teripu tadi sedang menatapku. Aku hanya mengangguk menanggapinya.

“keterima?” tanyanya lagi.

“ya. Kamu?” kali aku yang mengajukan pertanyaan.

“sama. Berarti kita akan satu sekolah. Perkenalkan, namaku Cakka.” Ia menyodorkan tangannya padaku. Aku membalas menjabat tangannya.

“Agni.”

Eh, tunggu. Cakka?

“Cakka? Cakka Nuraga? Kamu yang berada di peringkat pertama ini?” tanyaku tak percaya. Dia hanya tersenyum. Aku tak menyangka, rasa penasaranku bisa terjawab dengan cepat.

***

Sejak perkenalan singkat itu, entah takdir atau memang nasib yang menjodohkan kami, aku selalu bertemu dengannya. Bahkan kami sekelas terus hingga hari kelulusan. Dan sejak saat itu juga, cintaku sudah tertanam untuknya. Tapi siapa menyangka, ternyata Cakka juga mempunyai perasaan yang sama denganku. Pada saat awal kelas 2, ia menyatakan perasaannya.

Ah, saat-saat ia menyatakan perasaannya itu tidak akan pernah aku lupakan. Yang pasti pada saat itu, dia mengajakku untuk berbicara berdua di sebuah tempat yang menurutku indah dan...romantis. Hanya berdua, tanpa orang lain.

Pernah suatu hari saat ia sedang berada dirumahku. Kami sedang asik menonton reality show tentang pernyataan cinta. Saat melihat itu, aku jadi berpikir, mereka pede ya ngomong seperti itu di depan umum. Iseng aku bicara pada Cakka.

“Cak, kanapa kamu nggak kayak cowok itu aja waktu nembak aku? Ngajakin acara tv...buat hal-hal yang aneh...”

Aku sedikit kaget. Cakka yang sedang menonton itu langsung menatapku serius.

“bagi aku, karena ini adalah cerita antara kamu dan aku, jadi cukup kita berdua aja yang berperan di dalamnya. Tanpa ada orang lain. Cukup kita dan Tuhan saja yang tahu. Dengan begitu, kamu dapat mengenang cerita kita hanya untuk kamu sendiri. Begitupun denganku.” Ucap Cakka lembut. Terpancar ketulusan dari setiap kata-katanya.

Jujur, pada saat itu aku serasa melayang sampai kelangit tujuh. Pipiku memanas, mukaku merah padam. Lelaki satu itu memang slalu berhasil membuatku tersipu. Cobalah kau berada di posisiku, kawan.

Lagi-lagi pipiku memanas. Hanya mengingatnya saja, mukaku sudah sama seperti kepiting rebus. Oh iya, jangan kau tanya seperti apa Cakka menyatakan perasaannya padaku. Seperti kata Cakka, ini kisah tentang kami berdua. Dan cukup kenangan itu untuk kami berdua saja.

Ah, sudahlah. Aku tak ingin berlarut-larut terlalu lama dalam kenanganku dan Cakka. Terlalu banyak hal-hal indahnya. Aku membuka halaman selanjutnya. Lagi-lagi aku mendapati fotoku dan Cakka. Dari backgroundnya, dapat aku pastikan kami tidak berada di sekolah. Seharusnya album ini berisi foto aku saat disekolah atau kegiatan-kegiatan sekolah lainnya. Sedangkan ini? Memang sih kami menggunakan pakaian sekolah, tapi ini bukan disekitar sekolah kami dulu. Lalu dimana?

Kembali aku biarkan pikiranku menjelajahi lorong-lorong waktu. Menemukan cerita dibalik foto ini. Ah ya, Kamis pagi yang cerah. Aku ijin dengan orang tuaku akan kesekolah. Tetapi satu hari itu, aku tidak ada menginjakkan kaki disekolah.

***

Pagi ini entah mengapa aku sangat malas untuk bangun dari kasurku. Padahal cuaca sepertinya sedang bagus. Seharusnya aku juga bersemangat untuk kesekolah. Kalau bukan karena teriakan mama yang dari tadi menyuruhku bangun, pasti saat ini aku masih mengarungi alam mimpi.

“Agni, kamu sudah bangun belum? Cepat bangun, nanti Cakka sudah datang kamu belum juga siap.” Tuh kan, mama sudah berteriak lagi. Lebih baik aku segera bangun. Lagian kasian juga Cakka jika nanti harus menungguku.

“iya ma, Agni udah bangun kok.” Jawabku.

Aku beranjak menuju kamar mandi yang ada di kamarku. Tak butuh waktu lama, hanya dalam 20 menit aku sudah berpakaian lengkap, tinggal menyisir rambutku dan mengoleskan sedikit bedak, semua beres.

Aku menuju meja belajarku untuk menyusun buku pelajaranku hari ini. Apa aja ya jadwal hari ini? Mtk, bahasa Indonesia, sejarah, dan kimia. Banyak banget. Mana bukunya tebal-tebal lagi. Tugas ada nggak ya? Kayaknya sih nggak.

Selesai memasukkan buku yang diperlukan, aku kemudian membawa ranselku ini. Ya Tuhan beratnya...mending aku kurangin dulu deh bukunya.

Sejarah. Hmm...nggak usah bawa buku cetak deh, nebeng dengan Ify aja entar. Catatannya juga deh. Aku jarang nyatat juga. Mtk. Mendingan buku catatannya aku tinggalin. Entar kalau ada catatan buat di buku latihan aja. Kimia. Buku laporan praktikum mending nggak aku bawa. Hari ini kan nggak ada praktikum, lksnya juga deh. Kan udah selesai semua satu buku di periksa. Bahasa Indonesia? Ah sudahlah, bawa aja semuanya. Toh Cuma dua buku, buku cetak dan catatan.

Aku turun kebawah, menemui kedua orangtuaku yang sudah siap dimeja makan.

“pagi ma...pagi pa...” sapaku.

“pagi sayang. Ayo cepat sarapan, nanti kamu terlambat.” Suruh mama.

Aku segera mengambil roti dan mengoleskan selai coklat kesukaanku. Saat mengunyah roti itu, tiba-tiba rasa malas untuk kesekolah kembali menyerangku. Ada apa denganku hari ini? Kenapa aku merasa sangat malas? Sudahlah, tak usah dipikirkan.

Tiittt...tiittt...

Ah, itu pasti Cakka. Aku segera mengambil ranselku dan menemuinya yang sebelumnya tak lupa menyalami papa dan mama. Saat telah sampai didekatnya...

“kenapa Ag? Kok murem?” tanya Cakka.

“nggak ada. Cuma lagi malas aja.”

“oh, ya udah. Ayo naik.” Ajaknya.

Aku segera menaiki motor Cakka. Diperjalanan kami tak banyak bicara. Kenapa buat ngomongpun terasa malas?

Saat di persimpangan, lampu merah menyala. Jadi kamipun ikut berhenti. Cakka langsung angkat bicara, memecah kebisuan diantara kami.

“Ag, jangan mikir aku nih cowok jahat ya. Bukan maksud aku sih menjerumuskan kamu. Tapi sesekali boleh lah kita cari hiburan. Biar nggak bosan. Masa remaja tanpa sedikit pemberontakan itu tidak seru.”

Aku tidak mengerti sama sekali dengan yang diucapkan olehnya. Menjerumuskan? Hiburan? Pemberontakan? Apa maksudnya?

“maksudnya?” tanyaku bingung.

Cakka tak menjawab. Dia hanya tersenyum kecil kepadaku. Lampu hijau menyala. Nanti disekolah aja deh aku tanyain. Pikirku.

Aku merasa kaget saat motor Cakka tidak tetap lurus yang merupakan jalan menuju kesekolah, melainkan berbelok ke kanan. Kemana ini?

“sesekali tidak menuju kesekolah nggak papa Ag. Bosen juga belajar terus. Kamu males kan? Aku juga. Aku pengen cerita-cerita aja ama kamu hari ini. Kita refreshing.” Ucap Cakka seolah membaca pikiranku. Aku hanya mengangguk kecil menanggapinya. Pantas saja dia tadi ngomong seperti itu.

Masa remaja tanpa sedikit kenakalan sama saja seperti lagu tanpa nada indah yang menyusunnya...

***

Cakka...Cakka...hanya kau yang mengajariku tentang kenakalan seperti itu. Tapi cukup satu kali itu saja kau membawaku lari dari sekolah. Setelah itu, aku dan Cakka tidak pernah lagi cabut dari sekolah. Itu untuk yang pertama juga terakhir kalinya.

Tidak ada alasan tertentu mengapa aku tidak mau mengulang kenakalan itu. Aku hanya tidak ingin terus-terusan membohongi orangtua yang sudah susah payah membiayai sekolahku.

Aku membalikkan kembali halaman album foto itu. Kali ini dapat kulihat beberapa foto, aku dan beberapa temanku, sedang duduk-duduk di tepi halaman rumah seseorang, menggunakan pakaian serba hitam ditambah wajah sendu dan mata yang bengkak. Tiba-tiba saja air mataku meleleh. Ini termasuk catatan suram diperjalanan remajaku. Saat dimana, kami harus merelakan salah seorang teman kami.

***

“dia nggak masuk lagi?” tanyaku pada Sivia, sekretaris kelas kami. Sivia hanya menggeleng.

Ini sudah yang kesekian kalinya teman kami, Aldo, tidak masuk sekolah. Hampir setiap bulan pasti absennya terisi. Dan itu tidak pernah kurang dari satu minggu. Awalnya sih tidak ada masalah. Tapi semenjak selesai liburan kemarin, semenjak timbulnya benjolan di dekat daerah sekitar telinganya, dia jadi jarang masuk. Yang kami tahu, ia sakit. Namun setiap kami tanya, ia sakit apa, ia tak pernah berkata jujur.

“gue juga nggak tau.” Itu yang slalu dikatakannya.

Memasuki bulan keempat, tak pernah sekalipun kami menjenguknya setiap kali ia absen. Bukan karena kami jahat, benci atau apa dengannya. Kami tidak tahu sama sekali, dia dirawat dimana, dirumah atau dirumah sakit mana. Kami buta informasi.

“mending tanya Buk Rahma aja deh. Buk Rahma pasti tahu informasi lebih jelas dari pada kita.” Usul Sivia, menyebutkan nama wali kelas kami.

Saat Buk Rahma mengajar dikelas, hal itu kemudian ditanyakan oleh Riko. Tapi jawaban Buk Rahma malah memberikan kami banyak pertanyaan baru.

“Aldo berobat ke Malaysia.”

Malaysia? Kenapa harus sampai sejauh itu? Memang apa penyakit yang diderita Aldo sampai harus dibawa ke Malaysia?

Rasa penasaran kami tidak berlangsung lama. Karena hanya berselang beberapa hari, kami mendapatkan jawaban dari semua pertanyaan kami. Jawaban yang membuat jantung kami mencelos. Aldo menderita tumor ganas Dan setiap bulan dia absen karena harus menjalani kemoterapi.

Satu kata yang ada dipikiranku saat itu ialah kematian. Entahlah, aku tak bisa memunafikkan diriku tentang hal itu. Selalu kata-kata itu yang terbayang dipikiranku setiap mengingat Aldo. Tapi aku selalu berusaha meyakinkan diriku untuk tidak berpikiran pendek.

Bulan keenam. Kesehatan Aldo sering naik turun. Kini malahan rambut dikepalanya sudah habis, begitu pula dengan alis matanya. Itu sepertinya efek samping dari kemoterapi yang di jalaninya. Setiap kesekolah ia selalu menggunakan topi. Tak tahu apa yang dipikirkannya.

Kenaikan kelas. Satu kelas sukses naik ketingkat selanjutnya, ketingkat akhir pendidikan di SMA. Begitupun dengan Aldo. Walaupun sering absen mengikuti pelajaran dikelas, tapi ia bisa mendapatkan nilai yang memuaskan. Kami salut padanya. Liburan dimulai. Selama liburan, tak banyak yang mengetahui perkembangan kesehatan Aldo.

Setelah menjalani liburan selama dua minggu, kegiatan belajar-mengajar kembali dimulai. Sebenarnya aku kurang puas dengan liburan dua minggu ini. Aku mau liburan ditambah! Ah, sudahlah Agni. Jangan mengeluh terus. Aku menyemangati diriku sendiri.

Hari Senin, hari pertama sekolah, kami semua sibuk mencari kelas baru. Begini lah sekolahku, tiap kali kenaikan kelas, pasti kelasnya selalu diacak. Padahal aku ingin terus bersama dengan teman-temanku yang di kelas dua dulu.

Hari kedua hingga Sabtu, semua masih sibuk dengan urusan masing-masing hingga tak menyadari ada yang kurang diantara kami.

Memasuki minggu kedua awal semester ini, kami baru menyadari sesuatu. Aldo sejak hari pertama kemarin belum masuk sekolah sama sekali. Ah, kenapa kami baru menyadarinya? Segera kami kumpulkan info dari semua teman kami yang bisa kami tanyai.

Lagi-lagi kenyataan pahit harus kami dengar dari Ourel yang hari Minggu kemarin telah menjenguk Aldo.

“kondisinya makin parah. Telah terjadi pembengkakan di dalam mulutnya. Dia udah nggak bisa makan. Jangankan makan, minum aja dia udah susah. Gue nggak tau berapa lama ia bisa bertahan dengan kondisi seperti itu.” Ujar Ourel panjang lebar.

“gue nggak mau tau, sore ini kita harus kerumah Aldo!” ucapku. Semua teman-temanku menyetujuinya. Bagaimanapun Aldo adalah bagian dari kami.

Pulang sekolah, kami langsung berangkat menuju rumah Aldo yang tidak jauh dari sekolah. Sampai dirumahnya, kami disambut oleh ibu dan kakaknya dengan muka sedih. Aku tak yakin, apa aku bisa melihatnya nanti?

Kami berkumpul diruang tamu keluarga Aldo. Dari tempat dudukku kini, aku dapat melihat Aldo yang berada di ruang keluarganya. Tapi aku tidak bisa melihat pembengkakan yang dimaksud oleh Ourel tadi. Soalnya Aldo tiduran membelakangiku.

Setelah sedikit basa-basi dengan ibunya, aku langsung angkat bicara.

“bu, boleh nggak kami lihat kondisi Aldo?” tanyaku pelan.

“oh, boleh. Silahkan.”

Kami memutuskan untuk melihatnya secara bergantian karena tak ingin membuat Aldo kepanasan. Aku, Sivia, Ify dan Riko jadi yang pertama untuk melihatnya.

Kami duduk disamping Aldo. Saat Aldo membalikkan badannya menghadap kami, air mataku tiba-tiba jatuh begitu saja tanpa bisa ku kendalikan. Padahal aku sudah bertekad, tidak akan menangis dihadapannya. Kondisi Aldo begitu menyakitkan hatiku.

Pembengkakan yang semula berada disekitar telinganya, kini sudah berpindah ke dalam mulutnya. Sangat besar. Seperti ada daging tumbuh. Hampir seluruh mulutnya tertutup oleh daging yang tumbuh itu. Tiba-tiba, Aldo mengerang seperti ingin berbicara. Gara-gara daging itu, tak ada satu kata pun yang bisa kami mengerti. Ibu Aldo yang saat itu mendampingi kami pun berbicara dengan berurai air mata.

“Anakku ini pintar. Setiap hari dia slalu bilang, ‘ma, kapan aku bisa kesekolah lagi. Aku mau sekolah.’ Dia ingin seperti kakak-kakaknya yang sudah sarjana. ‘aku ingin jadi sarjana ma, aku ingin jadi sarjana’ itu yang slalu dia bilang.” Ucap Ibu Aldo sambil mengelus kepala Aldo.

“bel sekolah tiap hari terdengar sampai sini. ‘ma itu orang udah masuk, ma itu bunyi bel istirahat, ma itu udah bel pulang.’ Tiap kali dia liat anak-anak pergi sekolah, dia juga ingin pergi sekolah lagi. Tapi mau bagaimana, kondisinya udah nggak memungkinkan.” Air mataku jatuh kian deras. Aku menangis di bahu Sivia yang saat itu juga telah menangis sama sepertiku. Bahkan disaat kondisinya sudah sangat kritis pun, dia tetap bersemangat untuk sekolah? Aku begitu salut dengannya. Banyak anak-anak yang mempunyai kesempatan, kesehatan, tapi tak pernah sungguh-sungguh sekolahnya. Aku jadi malu sendiri.

Aku segera beranjak ke ruang tamu. Tak sanggup aku bila harus berada terlalu lama disana. Teman-temanku yang lain menyemangatiku.

“udah, jangan nangis. Masa’ iya kita nangis di depan Aldo. Aldo butuh semangat dari kita. Bukan tangis kita.” Itu yang mereka ucapkan. Aku segera menghapus air mataku. Mereka benar, aku tak boleh seperti ini. Secara bergantian kami melihatnya. Memberi semangat pada Aldo, juga saling menguatkan. Tepat pukul empat sore, kami pulang kerumah.

Hari Selasa pagi, suasana terasa suram. Sisa-sisa kesedihan kemarin masih sangat terasa.

“gue kasihan liat Aldo mesti nahan sakitnya seperti itu.” Shilla memulai pembicaraan.

“iya. Entah pikiran dari mana, tapi gue ngerasa, kita bakal kehilangan Aldo. Tidak lama lagi.” Ucap Sivia pelan.

“ya, gue juga ngerasa gitu.”

“kalau memang dia harus pergi, biarkan aja dia pergi. Dari pada dia harus menahan sakit yang tak berkesudahan seperti itu.” Itu yang diucapkan oleh Shilla. Semua menatap Shilla sinis. Tapi kemudian, semua mengangguk setuju. Ya, dari pada dia harus terus-terusan sakit, lebih baik dia...

**

Hari Jumat. Aldo belum juga masuk sekolah. Entah mengapa suasana hari ini terasa begitu suram. Sangat suram. Aku tak tahu ada apa. Yang jelas hari ini pikiranku sangat tidak fokus di pelajaran. Aku malah berpikir tentang teman-temanku yang mendadak kesurupan. Hah? Kesurupan? Mikir apa aku ini. Segera aku membuang pikiran jahat itu.

Siang harinya. Aku sedang makan bersama keluargaku setelah papa pulang jumatan. Aku tidak makan di meja makan. Aku lebih memilih makan di depan tv. Alasannya sederhana, biar aku bisa sekalian nonton tv. Tapi baru dua suap nasi yang masuk ke mulutku, handphone ku berdering.

‘Osa calling’

Osa? Tumben dia nelpon siang-siang gini.

“halo? Kenapa Sa?” tanyaku.

“Ag...” terdengar suara Osa di seberang sana. Dapat aku pastikan saat ini dia sedang mengis.

“iya, kenapa Sa? Kok nangis?”

“Aldo, Ag...Aldo...” ucap Osa putus-putus. Hatiku mencelos.Firasatkku tidak enak.

“kenapa dengan Aldo?” tanyaku sedikit emosi. Ah, Agni. Kenapa kau membohongi hatimu?

“dia....meninggal...”ucap Osa akhirnya. Tangisnya kembali pecah. Aku tak mampu berkata apa-apa lagi. Semua terasa begitu cepat.

“Ag?” suara Osa kembali terdengar di seberang sana karena tak ada respon sama sekali dariku.

“iya. Lo tenang ya. Jangan nangis. Bentar lagi gue jemput lo, kita kerumah Aldo.” Setelah mengatakan hal itu, aku segera menutup telponnya.

Dia pergi. Takkan ada lagi Aldo yang selalu bersemangat, tak pernah menghentikan mimpi-mimpinya untuk menjadi sarjana, sekalipun penyakit ganas terus menggerogoti tubuhnya. Dia pergi, di hari ini, 24 Juli 2009.

Dia menyerah, kawan. dia telah menyerah. Menyerah terhadap penyakit yang terus melumpuhkannya. Menyerahkan kembali dirinya pada yang berhak atas dirinya. Dia kembali, ke pangkuan Sang Pencipta.

***

Air mata masih menetes di pipiku. Sudahlah Agni. Jangan menangis terus. Biarkan itu tetap menjadi kenanganmu, dan kenangan mereka. Hal itu bukan untuk ditangisi! Aku kembali menyemangati diriku. Setelah menghirup nafas beberapa kali, dan menghapus jejak air mata di pipiku, aku kembali membalikkan album foto itu.

Kali ini, senyum terukir di bibirku. Ini saat-saat terakhir kami disekolah. Saat kami bisa menanggalkan putih abu-abu yang selama tiga tahun kami pakai.

***

Dari kemarin aku susah tidur, susah makan, susah semuanya. Kata-kata itu yang aku dengar dari mulut teman-temanku. Bagaimana tidak, besok hasil belajar kami selama tiga tahun di SMA akan segera di umumkan. Sedikit berbeda denganku. Memang aku akui, aku sedikit gugup. Tapi soal makan, tidur dan sebagainya yang dikeluhkan teman-temanku, tidak ada satupun yang menyerangku. Kenapa aku begitu aneh?

Aku tiduran di atas kasurku sambil memainkan handphone ku. Aku malas mau jalan-jalan sore ini. Lebih enak dirumah aja. Baru saja aku mau mengotak-atiknya, sudah berbunyi saja.

‘tante Ucie calling’

Senyumku merekah. Telpon dari tante Ucie lah yang dari tadi aku tunggu-tunggu.

“halo?”

“halo...”

“iya, ada apa, tan?” tanyaku.

“Agni, kamu lulus.”

“beneran tan?”

“iya...”

Aku langsung sujud syukur sebagai ungkapan terima kasihku kepada Sang Khalik. Tanteku ini adalah yang paling aku andalkan. Dia adalah yang paling up to date untuk masalah seperti ini. Kemudian aku berdiri, meloncat kegirangan hingga tak sadar, aku masih belum memutuskan telepon dengan tanteku.

“Agni...Agni...” panggil tanteku. Ah, untung kedengaran.

“iya...makasih ya tan. Trus gimana kelulusan sekolah? Ada yang nggak lulus, nggak?” tanyaku.

“ada, satu orang. Tapi tante nggak tau siapa. Yang jelas bukan dari IPA, dari IPS. Eh, tapi kami jangan kasih tau teman-temanmu dulu ya. Bisa ribet urusannya.”

“sip! Tenang aja tan. Serahkan semuanya pada Agni. Makasih ya tan.” Aku memutuskan hubungan telepon kami. Aku sangat sangat sangat bahagia! Eh, tapi aku tidak boleh ngasih tau yang lain dulu ya? Ya udah deh, kebahagiaan ini untuk aku sendiri dulu. Maaf teman-teman. Aku tidak bermaksud egois.

Baru satu jam yang lalu aku mendapatkan telpon dari tanteku. Sekarang handphoneku tak henti-hentinya berbunyi. Isinya hampir sama semua.

Ag, kita lulus. Anak ipa lulus semua. Kita bakal kuliah Ag, kita bakal kuliah!

Kurang lebih seperti itulah isi sms dari teman-temanku. Dari mana mereka tau ya? Yang penting bukan dariku. Terserah mereka mau tau dari mana. Yang penting, aku tidak merasakan kebahagiaan sendiri.

Kisah tentang masa-masa tak terlupakan sudah mencapai ujungnya. Tinggal sedikit pemanis diujungnya, semua akan terasa lengkap...

***

Aku tertawa. Masalah kelulusan, aku memang sering lebih awal tau dari pada teman-temanku. Semua karena aku mempunyai banyak kenalan. Tapi saat itu, teman-temanku juga mendadak mempunyai banyak telinga sehingga bisa mendapatkan informasi yang sama cepatnya denganku.

Besoknya saat kelulusan benar-benar di umumkan oleh sekolah, semuanya sudah siap dengan cat pilox masing-masing. Baju kami yang semula putih, berubah menjadi beraneka warna. Terpancar kebahagiaan dari setiap wajah. Aahhh....euphoria kelulusan itu memang terasa sangat kental.

Aku membalikkan lagi album foto ini. Sudah mencapai halaman akhir. Foto-foto di halaman ini dapat aku pastikan di ambil di tempat yang hampir sama dan di hari yang sama pula. Perpisahan...

***

Aku telah siap dengan kebayaku yang berwarna cream. Ditambah sedikit riasan pada rambut dan wajahku hasil prakarya mama. Sekolah memang menyuruh siswa kelas tiga untuk menggunakan kebaya bagi perempuan -yang sebenarnya sangat tidak mebuat ku nyaman- dan jas bagi laki-lakinya. Tapi mau bagaimana, ini memang dress code untuk acara perpisahan kami.

Aku segera turun ke bawah, sambil menenteng sepatu high heels yang aku ‘curi’ dari sepupuku kemarin saat datang kerumahnya. Haha...dia pasti kebingungan mencari sepatunya. Hanya untuk hari ini saja kok, besok aku kembalikan. Aku sebenarnya dipaksa habis-habisan oleh Ify agar berdandan seanggun mungkin hari ini. Yah, karena aku anak yang baik, tidak sombong, dan rajin menabung, maka aku turuti keinginan sobat baikku itu.

Seperti dugaanku, papa, Cakka dan Ray –adikku- memandangiku cengo. Sudah pasti mereka pangling melihatku secantik bidadari dari khayangan ini. Aku sendiri saja awalnya bengong. Apalagi mereka.

“pa, ma, Agni pergi dulu ya.” Aku meminta ijin kepada kedua orangtuaku.

“kamu cantik Agni. Coba tiap hari kamu kayak gini, pasti banyak yang ngantri.” Puji papa.

“nggak perlu dandan seperti ini aja udah banyak yang ngantri buat jadi pacar Agni kok pa. Sayang aja Agni udah punya Cakka.” Aku melirik Cakka. Tak ada reaksi apa-apa darinya. Masih saja memandangiku dengan cengo. Aku lihat Ray, sama saja.

Ya elah, kelamaan nih bengongnya.

“Cakka, Ray! Nggak usah kelamaan juga bengongnya. Kayak nggak pernah lihat orang cantik aja. Padahal tiap hari ketemu orang cantik.” Ucapku menarsiskan diri.

Ray dan Cakka segera tersadar dari kecengoannya. Ray yang mendengar kenarsisanku hanya mencibir.

“ya udah, yuk Kka berangkat. Biar nggak telat.” Aku menarik tangan Cakka untuk segera beranjak.

“ma, pa, Agni ama Cakka pergi dulu ya. Assalammu’alaikum” aku menyalami papa dan mama. Begitupun dengan Cakka.

“wa’alaikumsalam.”

“lho? Kok sepatunya nggak dipasang Ag?” tanya Cakka saat melihat aku masih saja menenteng sepatuku.

“hehe...bentar aja kalau udah mau nyampe. Pegel entar.”

“yah, berkurang deh cantiknya.” Ucap Cakka. Aku langsung menoyor kepalanya. Kami sudah tiba di mobil Cakka. Cakka membukakan pintu untukku. Kemudian dia sendiripun segera masuk menuju kursi pengemudi disebelahku.

“kalau muji jangan nanggung-nanggung Kka. Entar pahalanya juga nanggung-nanggung.”

“hehe...iya iya. Kamu cantik Ag. Sangat cantik. Aku beruntung mendapatkanmu.” Ucap Cakka tulus. Aku tersenyum. Ah, Cakka lagi-lagi membuat aku melayang.

“kamu juga, cakep. Aku selalu bersyukur atas cintamu, kasih sayangmu. Dan aku beruntung mendapatkanmu. Itu tak pernah berubah. Dari dulu, hingga sekarang.” Aku membalas ucapannya. Cakka tersenyum memandangku, aku juga balas tersenyum padanya.

“udah, ayok jalan. Masa’ iya kita disini terus.” Aku segera menyadarkan Cakka yang sedari tadi tak juga menjalankan mobilnya. Cakka kembali tersenyum. Kemudian menghidupkan mesin mobil dan mulai melaju menuju gedung tempat diadakannya acara perpisahan kami.

Setibanya disana, aku segera turun dari mobil dan jalan beriringan sambil menggandeng tangan Cakka ke dalam gedung itu. Banyak yang melihat ke arah kami. Bukan bermaksud sombong. Tapi yah...selama ini aku dan Cakka selalu di anggap pasangan teromantis. Jadi tidak heran, banyak yang ‘iri’ dengan kami.

“Agni!” aku mendengar seseorang memanggilku. Segera aku mengalihkan pandanganku ke arah sumber suara. Dari arah kananku, dapat aku lihat Ify sedang melambai ke arahku. Aku tersenyum padanya. Tapi tunggu! Ify dangan siapa itu? Bukannya itu Rio? Kok gandengan? Jangan-jangan...

“Agni! Lo cantik banget. Syukur deh, lo mau nurutin kata-kata gue buat dandan seanggun mungkin.” Ucap Ify saat sudah berada disampingku bersama Rio.

“kalau cantik mah udah dari dulu kali, Fy.” Lagi-lagi aku menarsiskan diriku.

“beuuhhh...pede jaya lo baru dipuji dikit.”

“hehe...oh iya, lo kok datang ama Rio, Fy? Jangan-jangan kalian...” celetuk Cakka iseng.

Ify dan Rio langsung tersenyum malu. Aku dan Cakka langsung terbelalak.

“JADI KALIAN BENERAN JADIAN?” tanyaku histeris.

“hus! Nggak usah lebay gitu bisa kali Ag.”

“ya, gue shock aja. Kapan jadiannya? Kok lo nggak cerita ama gue sih Fy?” aku mulai protes.

“maaf Ag. Kita sengaja mau ngasih surprise ke lo hari ini. Lagian kita jadian baru empat hari lalu kok.” Kali ini Rio yang angkat bicara.

“APA?? EMPAT HARI?? Aish, lo berdua jahat nggak cerita ama gue! Pokoknya gue nggak mau tau! Gue minta peje!”

“iya, kalau soal peje mah gampang, Ag. Lo dan Cakka tamu kehormatan kita pokoknya.”

“tapi harus empat kali lipat dari peje biasa!” ucapku dan Cakka kompak. Ify dan Rio langsung cengo. Sedangkan aku dan Cakka segera masuk ke dalam gedung. Haha...kalau untuk urusan beginian, aku dan Cakka memang kompak. Bodo’ soal Ify itu sahabatku. Yang penting peraturan tetap peraturan. Ify dan Rio segera menyusul kami berdua yang sudah cukup jauh meninggalkan mereka.

“yah, Cakka, Agni. Kok gitu sih. Peje standar aja lo netapin udah gila-gilaan. Masa’ ini mesti empat kali lipat sih?”

Inilah akhir dari sepenggal kisah itu. Sepenggal kisah, dari beribu bahkan berjuta mozaik kehidupan yang terlewati. Sepenggal kisah dari sebuah masa yang tak mungkin terulang. Sepenggal kisah yang tak akan pernah sama, sekalipun terjadi kembali di kehidupan kedua...

***

Aku menutup album foto itu. Rasa rindu menyeruak dengan cepat dalam hatiku. Aku mendekap album foto itu, berharap dengan begitu rasa rindu ini dapat berkurang. Aku rindu, amat sangat rindu. Air mataku yang tadi telah kering, kembali meleleh. Membentuk aliran sungai kecil dipipiku.

Aku ingin bertemu mereka, Tuhan...

“Agni...” panggil seseorang. Masuklah seorang laki-laki ke dalam gudang tempat aku berada saat ini. Ah, itu suamiku. Kami telah menikah selama hampir satu tahun ini. Dengan gaya yang sedikit slengean -tapi juga terlihat pintar-, muka sedikit tembem dan lebih tinggi dariku. Kau merasa mengenali ciri-ciri itu?

Kau benar sekali. Laki-laki itu Cakka. Yang menemaniku dan selalu berada di sisiku sejak dulu. Yang merupakan cinta pertama sekaligus pacar pertamaku. Dan kini, menjadi suami pertamaku. Aku selalu berharap semoga ia juga adalah suami terakhirku. Sama harapanku seperti waktu itu. Berharap ia menjadi pacar terakhirku.

“kok duduk di situ? Kamu ngapain?” tanya Cakka.

“tidak ada. Aku hanya sedang bernostalgia.” Cakka mengerutkan kening tanda tak mengerti. Aku tertawa kecil melihatnya.

“sudahlah. Tak usah dipikirkan. Ayo keluar.” Aku menarik tangannya untuk keluar dari gudang. Tak lupa aku membawa album foto serta pajangan bebek yang ku temui tadi.

“oh iya, Ag. Ngomong-ngomong soal nostalgia. Aku tadi dapat telpon dari Rio.”

“dari Rio? Ada apa?” tanyaku. Ah ya, aku ingat. Rio juga memper-istri sahabat baikku itu, Ify. Kalau dengan mereka berdua, aku masih sering bertemu.

“katanya lusa ada acara reunian angkatan kita di gedung tempat acara perpisahan kita dulu. Dia memberitahu kita untuk hadir.”

Reunian? Seketika senyumku terkembang. Sontak aku pun memeluk laki-laki yang sangat aku cintai ini. Terima kasih Tuhan...Kau segera mengabulkan harapanku untuk dapat bertemu dengan sahabat-sahabatku. Dengan mereka yang berada di masa indah itu.

***

Krik~

Gimana? Ngaco kan? Banget!

Walaupun ngaco, cerita ini aku persembahkan untuk sahabat-sahabatku. Sahabat dari satu masa yang indah :)

Oh iya, 80% isi cerita ini diangkat dari kisah nyata, sedangkan 20% hanya karangan fiktif belaka. Agni sendiri bisa dibilang adalah aku. Malah jadinya fan fiction gini ya? Soalnya aku sering kesulitan sih buat nama orang. Ini random banget dah pokoknya. kangen temen SMA, eh malah jadi cerita ini. Cuma butuh waktu beberapa hari aja buat nyelesaikannya. Beda dengan proyek sebelumnya yang butuh waktu hampir sebulan --" *tepuk tangan*

Bagi yang sudah baca cerita ini, baik sengaja ataupun nggak, baik yang kesasar ataupun terdampar, dimohon untuk meninggalkan jejak-jejak kehidupan berupa komen, kritik dan saran. Apa aja, diterima. Soalnya ini masih sangat belajar ^.^ terima kasih....

18/02/2011 14:19:22

Ujung Pelangi

0 komentar:

Posting Komentar