Pages

Selasa, 07 Juni 2011

Patah Hati

Setetes demi setetes air mata alam mulai turun membasahi bumi. Gerimis. Aku harap hujan akan datang. Sungguh suasana seperti ini yang aku harapkan. Aku melirik jam bulat bergambar doraemon yang tergantung pada dinding kamarku. Ah...cepatlah. Aku sangat membutuhkannya.

Tetes-tetes air diluar sana mulai membesar dan akhirnya benar-benar menghujani bumi. Aku mulai melangkah keluar dari kamarku dan menuju ke halaman rumahku. Saat melewati ruang keluarga, aku tidak menemukan siapa-siapa. Sepi. Memang beginilah selalu. Orangtuaku baru pulang bekerja pukul lima sore nanti. Sedangkan kakakku satu-satunya, dia sedang melanjutkan study-nya di luar kota. Jadilah aku lebih sering tinggal sendiri dirumah. Tapi percayalah, aku bukan type anak yang kekurangan kasih sayang orangtua.

Klek!

Aku membuka pintu depan rumahku. Dengan matap aku melangkahkan kakiku keluar rumah. Saat aku berada tepat di halaman rumahku, aku berhenti. Aku memjamkan kedua mataku dan merentangkan tanganku. Aku mencoba menikamati sensasi sejuk yang diberikan olah alam ini. Perlahan-lahan, bersama jutaan tetes air hujan yang mulai membasahi tubuhku, menetes pula air dari kedua mataku yang terpejam. Ya, aku menangis bersama alam. Karena saat ini, untuk pertama kalinya aku merasakan apa yang mereka sebut...patah hati.

Untuk beberapa saat aku bertahan pada posisi seperti ini. Menikmati tetes-tetes air yang menerpa wajahku dan menyamarkan air mataku. Beginilah s'lalu. Setiap kali aku ingin menangis, aku s'lalu menanti datangnya hujan. Karena aku tak tak ingin ada seorang pun yang melihat air mataku. Biarlah orang menganggapku kekanakan, yang masih suka bermain hujan. Tak masalah. Walaupun aku sering tinggal sendiri, tapi aku tetap tidak pernah menangis sendiri di kamarku. Tak ada yang boleh melihat air mataku. Meskipun hanya dinding kamar yang tak pernah tergerak masa.


Aku mulai 'menari' bersama hujan dengan air mata yang tetap mengalir deras dari mataku. Bayang-bayang kejadian tadi siang di sekolah kembali menghampiri. Sewaktu 'ia' datang dengan senyum terkembang di wajahnya setelah hampir setengah jam aku meanantinya di kantin. Pada saat ia berada tepat di hadapanku, ia langsung memlukku erat dan membisikkan kepadaku betapa bahagianya ia. Aku hanya tersenyum bingung dalam pelukannya.

"Aku bahagia! Sangat bahagia! Akhirnya, aku bisa menjadikan Arin sebagai kekasihku! "

Kekasihku! Kekasihku!

Kata itu terus terulang dan menggema di kepalaku. Aku tidak kuat, sungguh tidak kuat menahan siksaan batin ini! Tuhan...mengapa terasa begitu sulit? Selalu seperti inikah orang-orang yang sedang patah hati? Sulit bernapas, rasa sesak tak tertahankan, dan...menyakitkan? Tuhan..bisakah aku bertahan?

Aku jatuh terduduk. Aku ingin menangis sepuasnya. Menangis sepuasnya bersama alam yang sepertinya turut merasakan kehancuran hatiku, Ku harap kepedihan ini dapat tersapukan bersama setiap aliran air yang jatuh dari tubuhku. Walaupun...itu sangat tidak mungkin...


Ujung Pelangi

7 Juni 2011

0 komentar:

Posting Komentar